perkembangan ilmu ma'ajim
A
Beberapa Faktor Disusunnya Kamus Arab
|
Sebelum era Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab,
terutama umat islam, belum banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa
atau penyusunan kamus-kamus bahasa arab. Paling tidak, menurut Imel badi’
Ya’qub, ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa bangsa Arab belum atau terlambat
dalam hal penyusunan kamus.[1]
Pertama, Mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta
huruf) sebelum Islam datang di Jazirah Arab, bangsa Arab yang bisa membaca dan
menulis dapat dikatakan sangat minim. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan, dan
al-Qur’an menegaskan, apa yang telah diketahui orang-orang pada zamannya, yaitu
bahwa beliau buta huruf, dan tak mungkin dapat menyusun Al-Qur’an. Memang, pada
era wahyu al-Qur’an diturunkan, mayoritas sahabat Nabi juga tidak banyak yang
mampu membaca dan menulis. Kenyataan ini yang menyebabkan masyarakat bangsa
Arab kurang memperhatikan masalah kodifikasi bahasa mereka. Apalagi untuk
mengumpulkan makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
Kedua, Tradisi nomadisme dan perang. Di dalam
Jazirah Arab, penduduknya tidak pernah menetap. Perpindahan dari tanah
pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput ke tanah pertanian terus
terjadi dan menjadi ciri setiap fase sejarah jazirah. Selain tradisi nomadisme,
penduduk jazirah Arab kerap kali berperang antar suku dan golongan. Tradisi
nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa Arab untuk kurang memperhatikan
tradisi baca tulis dikalangan mereka.
Ketiga, lebih senang dengan bahasa lisan. Tak dapat
dipungkiri jika bangsa Arab sangat fanatik dengan bahasa lisan. Mereka lebih
mengagungkan tradisi muhadatsah. khitabah dan syair. Barangkali,
secara geografis, wilayah gurun yang sepi dan kebiasaan migrasi juga berperan
menciptakan tradisi sastra dikalangan mereka.
Ketiga faktor
diatas mengakibatkan bangsa Arab sangat tertinggal dengan bangsa lain dalam hal
kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus berbahasa Arab. Sekalipun
demikian, bukan berarti sebelum era dinasti Abbasiyah, bangsa Arab sama sekali
tidak mengenal kamus, sebab leksikologi dalam arti ilmu yang berusaha
mengungkap makna-telah menjadi perbincangan di jazirah Arab. Ide-ide leksikon
itu semakin berkembang pesat dikalangan bangsa Arab, terutama umat Islam,
seiring dengan aktifitas mereka dalam usaha memahami dan menginterpretasikan
ayat-ayat suci al-Qur’an. Salah satu buktinya adalah riwayat Abu Ubaidah dalam al-Fadhail
dari Anas bahwa ketika Khalifah Umar bin Khaatab ra. (584-644 M) berkhutbah
diatas mimbar, beliau membaca ayat : وفاكهة وأبّا “Dan buah-buahan serta rumpu-rumputan”
Lalu,Umar berkata:”Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui, tetapi
apakah makna kata abb pada ayat tersebut?”. Ibnu Abbas ra. Juga pernah
mempertanyakan makna dari kata “Fatir” dalam firman Allah SWT surat Fatir ayat
1.Untuk mencari tahu makna kata tersebut, Ibnu Abbas ra. rela masuk ke
daerah-daerah pelosok desa di wilayah Arab Badui yang dikenal masih memiliki
kebahasaan yang asli. Kala itu, Ibnu Abbas melihat 2 orang di dusun yang sedang
bertengkar tentang masalah sumur, salah seorang berkata: “Ana Fathartuha”
(maksudnya, sayalah yang pertama kali membuatnya). Dengan peristiwa ini,
akhirnya Ibnu Abbas bisa memahami bahwa tafsir dari kata fathir berarti
“pencipta”.
B
FAKTOR-FAKTOR PENKODIFIKASIAN ILMU MA’AJIM
Adapun
Faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab untuk mengkodifikasi bahasa mereka dan
menyusun kamus-kamus berbahasa Arab[2] Antara lain.
1)
kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an
2)
Keinginan mereka untuk menjaga eksistensi bahasa
mereka dalam bentuk bahasa tulis.
3)
Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada
masa awal kodifikasi al-Qur’an dan Hadits tentang gharaib atau kata-kata
asing
4)
munculnya ilmu-ilmu metodologis pertama dalam
Islam.
C
STRATEGI PENULISAN AL-QUR’AN
Sebagaimana yang jelaskan dalam kitab Maktabah Al-Nahdhah, 1956), 263-266.
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Ara. Yaitu
1)
tahap kodifikasi non-sistemik, pada tahap ini
seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju ke desa-desa. Lalu, ia
mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui
yang kemudian ia catat dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika
penulisan kamus. Intinya, mereka mengumpulkan data melalui istima’.
2)
tahap kodifikasi tematik, pada tahap kedua ini,
para ulama yang telah mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik
penulisan secara tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi
buku atau kamus tematik
3)
tahap kodifikasi sistematik, pada tahap ketiga,
penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan
memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui[3]
[1]
Dazirah
Saqqal, Nasyah al-Ma’ajim al-Arabiyah Wa Tathawwuruha, Bairut: Dar
Al-Shadaqah Al-Arabiyah, 1995
[2]
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN Malang
Press, 2008.
[3]
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah,
1956), 263-266. Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab. Halaman 203-204
Komentar
Posting Komentar