perkembangan ilmu ma'ajim


A     
AINUL YAQIN
U20153014
BSA 5
 
Beberapa Faktor Disusunnya Kamus Arab
Sebelum era Dinasti Abbasiyah, bangsa Arab, terutama umat islam, belum banyak yang mengenal pentingnya kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus bahasa arab. Paling tidak, menurut Imel badi’ Ya’qub, ada 3 faktor yang menyebabkan kenapa bangsa Arab belum atau terlambat dalam hal penyusunan kamus.[1]
Pertama, Mayoritas bangsa Arab masih ummy (buta huruf) sebelum Islam datang di Jazirah Arab, bangsa Arab yang bisa membaca dan menulis dapat dikatakan sangat minim. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan, dan al-Qur’an menegaskan, apa yang telah diketahui orang-orang pada zamannya, yaitu bahwa beliau buta huruf, dan tak mungkin dapat menyusun Al-Qur’an. Memang, pada era wahyu al-Qur’an diturunkan, mayoritas sahabat Nabi juga tidak banyak yang mampu membaca dan menulis. Kenyataan ini yang menyebabkan masyarakat bangsa Arab kurang memperhatikan masalah kodifikasi bahasa mereka. Apalagi untuk mengumpulkan makna kosakata dan menulisnya dalam bentuk kamus.
Kedua, Tradisi nomadisme dan perang. Di dalam Jazirah Arab, penduduknya tidak pernah menetap. Perpindahan dari tanah pertanian ke padang rumput dan dari padang rumput ke tanah pertanian terus terjadi dan menjadi ciri setiap fase sejarah jazirah. Selain tradisi nomadisme, penduduk jazirah Arab kerap kali berperang antar suku dan golongan. Tradisi nomadisme dan perang menjadi sebab utama bangsa Arab untuk kurang memperhatikan tradisi baca tulis dikalangan mereka.
Ketiga, lebih senang dengan bahasa lisan. Tak dapat dipungkiri jika bangsa Arab sangat fanatik dengan bahasa lisan. Mereka lebih mengagungkan tradisi muhadatsah. khitabah dan syair. Barangkali, secara geografis, wilayah gurun yang sepi dan kebiasaan migrasi juga berperan menciptakan tradisi sastra dikalangan mereka.

Ketiga faktor diatas mengakibatkan bangsa Arab sangat tertinggal dengan bangsa lain dalam hal kodifikasi bahasa atau penyusunan kamus-kamus berbahasa Arab. Sekalipun demikian, bukan berarti sebelum era dinasti Abbasiyah, bangsa Arab sama sekali tidak mengenal kamus, sebab leksikologi dalam arti ilmu yang berusaha mengungkap makna-telah menjadi perbincangan di jazirah Arab. Ide-ide leksikon itu semakin berkembang pesat dikalangan bangsa Arab, terutama umat Islam, seiring dengan aktifitas mereka dalam usaha memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat suci al-Qur’an. Salah satu buktinya adalah riwayat Abu Ubaidah dalam al-Fadhail dari Anas bahwa ketika Khalifah Umar bin Khaatab ra. (584-644 M) berkhutbah diatas mimbar, beliau membaca ayat : وفاكهة وأبّا “Dan buah-buahan serta rumpu-rumputan” Lalu,Umar berkata:”Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui, tetapi apakah makna kata abb pada ayat tersebut?”. Ibnu Abbas ra. Juga pernah mempertanyakan makna dari kata “Fatir” dalam firman Allah SWT surat Fatir ayat 1.Untuk mencari tahu makna kata tersebut, Ibnu Abbas ra. rela masuk ke daerah-daerah pelosok desa di wilayah Arab Badui yang dikenal masih memiliki kebahasaan yang asli. Kala itu, Ibnu Abbas melihat 2 orang di dusun yang sedang bertengkar tentang masalah sumur, salah seorang berkata: “Ana Fathartuha” (maksudnya, sayalah yang pertama kali membuatnya). Dengan peristiwa ini, akhirnya Ibnu Abbas bisa memahami bahwa tafsir dari kata fathir berarti “pencipta”.

B       FAKTOR-FAKTOR PENKODIFIKASIAN ILMU MA’AJIM
Adapun Faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab untuk mengkodifikasi bahasa mereka dan menyusun kamus-kamus berbahasa Arab[2] Antara lain.
1)      kebutuhan bangsa Arab untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
2)      Keinginan mereka untuk menjaga eksistensi bahasa mereka dalam bentuk bahasa tulis.
3)      Banyaknya buku-buku tafsir yang terbit pada masa awal kodifikasi al-Qur’an dan Hadits tentang gharaib atau kata-kata asing
4)      munculnya ilmu-ilmu metodologis pertama dalam Islam.

C       STRATEGI PENULISAN AL-QUR’AN
Sebagaimana yang jelaskan dalam kitab Maktabah Al-Nahdhah, 1956), 263-266. Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Ara. Yaitu
1)      tahap kodifikasi non-sistemik, pada tahap ini seorang ahli bahasa biasa melakukan perjalanan menuju ke desa-desa. Lalu, ia mulai mencari data dengan cara mendengar secara langsung perkataan warga badui yang kemudian ia catat dilembaran-lembaran tanpa menggunakan sistematika penulisan kamus. Intinya, mereka mengumpulkan data melalui istima’.
2)      tahap kodifikasi tematik, pada tahap kedua ini, para ulama yang telah mengumpulkan data mulai berpikir untuk menggunakan tehnik penulisan secara tematis. Data yang terkumpul mereka klasifikasikan menjadi buku atau kamus tematik
3)      tahap kodifikasi sistematik, pada tahap ketiga, penyusunan kamus mulai menggunakan sistematika penulisan yang lebih baik dan memudahkan para pemakai kamus dalam mencari makna kata yang ingin diketahui[3]




[1] Dazirah Saqqal, Nasyah al-Ma’ajim al-Arabiyah Wa Tathawwuruha, Bairut: Dar Al-Shadaqah Al-Arabiyah, 1995
[2] Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, Malang: UIN Malang Press, 2008.
[3] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, 1956), 263-266. Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab. Halaman  203-204

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isim adad

BATAS AWAL DAN AKHIR PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK