isim adad
ISIM 'ADAD
dan MA’DUD
ISIM 'ADAD
(BILANGAN, HITUNGAN)
DAN BENDA YANG DIHITUNG (MA’DUD).
1. Hitungan 1 & 2 disebut dengan adad khas
karena adad dan ma’dudnya selalu sama akan tetapi posisi adad sesudahnya
menjadi sifat. Contoh :كتاب
واحد، سيارتان اثنتان - Namun yang masyhur menggunakan sighat mufrod atau tatsniyahnya
saja. Contoh : سيارة -
سيارتان
2. Hitungan 3 – 10 harus memenuhi ketentuan berikut ini :
a. Adad selalu
berlawanan denga ma’dudnya yaitu apabila ma’dudnya muannats, maka adad harus
mudzakkar begitu pula sebaliknya.
b. Ma’dud berbentuk
jama’ dan dijirkan menjadi modhof ilaih.
c. Adad ini disebut ‘ADAD
MUDHAF. Contoh
:
المذكر
|
المؤنث
|
||
العدد
|
المعدود
|
العدد
|
المعدود
|
ثلاثة
|
اقلام
|
ثلاث
|
كراسات
|
خمسة
|
كراسي
|
خمس
|
سبورات
|
تسعة
|
كتب
|
تسع
|
سيارات
|
عشرة
|
طلاب
|
عشر
|
طالبات
|
3. Hitungan 11 & 12 ini mudah untuk dipraktekkan karena adad dan
ma’dudnya selalu sama, baik satuan
maupun puluhannya, namun MA’DUD berbentuk MUFRAD dan MANSHUB menjadi
TAMYIZ dengan memakai ,أحد - إحدى dan اثنان - اثنتان yang i’rabnya sama
dengan isim tatsniyah. Contoh : احد عشر
كوكبا ، اثنتا عشرة جريدة
4. Hitungan 13 – 19 harus memperhatikan syarat berikut :
a. Adad satuan selalu berlawanan dengan ma’dudnya (mudzakkar/ muannats).
b. Adad puluhan selalu sama
denga ma’dud.
c. Ma’dud bersighat mufrad dan nashab menjadi tamyiz.
d. Untuk hitungan 11-19 Mabni Fathah. Contoh: خمسة عشر نعلا-ثلاث عشرة رسالة- ثمانية عشر مسجدا kecuali adad satuan pada hitungan 12 karena
bertemu isim tatsniyah.
5. Hitungan 20 – 90 i’rabnya sama dengan jama’ mudzakkar salim,
ma’dudnya mufrad dan nashab menjadi tamyiz dan ma’dudnya boleh mudzakkar
dan boleh mu’annats. Contoh:
عشرون طائرة - ثمانون
جيشا
6. Hitungan 21 – 99. - Untuk hitungan
puluhan yang satuannya 1&2 adad dan ma’dud selalu sama antara mudzakkar dan
muannatsnya dengan menggunakan واحد untuk
mudzakkar dan واحدة untuk muannats. واحدة وعشرون جوالة، اثنان وسبعون طيرا - Untuk hitungan puluan yang satuannya
3-9 adad dan ma’dud harus berlawanan antara mudzakkar dan muannatsnya. تسع وتسعون امرأة، خمسة وثلاثون رجلا
7. Hitungan 100 –
1000 - Adad ini ma’dudnya selalu mufrad dan dijirkan menjadi mudhaf
ilaih.مائة سنة
8. Bilangan Tingkat. Untuk membuat bilangan ini isim adad
diikutkan wazan فاعل dengan menambah ta’(ة) ketika muannats,
kecuali اول dan أولى untuk
muannas.هذا
بيتي الثاني - هذه مخطوبتي الخامسة
العدد
Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)
ثَلَاثَةً
بِالتَّاءِ قُلْ لِلعشَرَهْ ¤ فِي
عَدِّ مَا آحَادُهُ مُذَكّرَهْ
Ucapkan angka Tsalatsatun
(tiga) sampai ‘Asyarotun (sepuluh) dg menggunakan Ta’ didalam menghitung
sesuatu yg mufrodnya Mudzakkar.
في
الضِّدِّ جَرِّدْ وَالْمُمَيِّزَ اجْرُرِ ¤ جَمْعاً
بِلَفْظِ قِلَّةٍ فِي الأكْثَرِ
Sebaliknya buanglah
Ta’nya (pada mufrod ma’dud muannats). Jarkanlah! Lafazh Mumayyiz/Ma’dud yg
jamak qillah pada kebanyakannya (daripada yg jamak katsrohnya).
وَمِائَةً
وَالأَلْفَ لِلْفَرْدِ أضِفْ ¤ وَمِائَةٌ
بِالجَمْعِ نَزْراً قَدْ رُدِفْ
Terhadap angka Mi’atun
(seratus) dan Alfun (seribu) mudhafkan pada Isim Mufrod. Dan angka Mi’atun
(seratus) jarang diikuti oleh Jamak (jarang dimudhafkan pada jamak).
–·•Ο•·–
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.
1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.
1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:
- Hukum Mudzakkar&Muannatsnya
- Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya
- Hukum I’robnya
I. ‘ADAD MUFROD
A. WAHIDUN (SATU) dan ITSNAANI (DUA)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya
: harus
mencocoki pada Ma’dudnya.
Contoh:
في
القرية مسجد واحد
FIL-QORYATI MASJIDUN
WAAHIDUN = Di desa itu hanya ada satu masjid.
في
القرية مدرسة واحدة
FIL-QORYATI MADROSATUN
WAAHIDATUN = Di desa itu hanya ada satu Madrasah.
اشتريت
كتابين اثنين
ISYTAROITU KITAABAINI ITSNAINI
= Aku telah membeli dua kitab.
اشتريت
كراستين اثنتين
ISYTAROINI RURROOSATAINI
ITSNAINI = Aku telah membeli dua buku tulis.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : harus disebutkan setelah ma’dudnya seperti contoh-contoh
diatas. Dan tidak boleh menyebutkan ma’dud sebelumnya, maka tidak boleh
mengatakan :
في
القرية واحدُ مسجدٍ
FIL-QORYATI WAAHIDU
MASJIDIN.
اشتريت
اثني كتابين
ISYTAROITU ITSNAIY
KITAABAINI.
Karena cukup penyebutan ma’dud
secara langsung sudah mencukupi jumlah yg dimaksud (mufrad/mutsanna = satu/dua).
Maka tidak perlu untuk menyebut ‘adad pada sebelum ma’dudnya.
III. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam. Sedangkan
I’rob ma’dudnya mengikuti irob ‘adad sebelumnya yakni sebagai Tabi’ Taukid.
B. TSALATSATUN (TIGA) sampai
‘ASYAROTUN (SEPULUH) dan BIDH’UN/BIDH’ATUN (sejumlah 3-9)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya
: kebalikan
dari ma’dudnya, yakni dimudzakkarkan apabila ma’dudnya mu’annats, dan
dimuannatskan apabila ma’dudnya mudzakkar,.
Contoh :
عندي
سبعةُ رجال
INDIY SAB’ATU RIJAALIN =
disisiku tujuh pria.
عندي
ثلاثُ نسوةٍ
INDIY TSALAATSU NISWATIN
= disisiku tiga wanita.
صافحت
بضعة رجال
SHOOFAHTU BIDH’ATA RIJAALIN = aku
berjabat tangan dengan beberapa pria.
نصحت
بضع نساء
NASHOHTU BIDH’A NISAA’IN
= aku menasehati beberapa wanita.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
سَخَّرَهَا
عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا
SAKHKHOROHAA ‘ALAIHIM
SAB’A LAYAALIN WA TSAMAANIYATA AYYAAMIN HUSUUMAN = yang Allah menimpakan angin
itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus (QS
Al-Haaqqah : 7)
>> lafazh
LAYAALIN = Ma’dud mu’annats karena mufrodnya LAILATIN, maka menggunakan ‘adad
mudzakkar SAB’A.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.
فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ
FA SYAHAADATU AHADIHIM ARBA’U
SYAHAADAATIN = maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah (QS.
An-Nuur : 6)
ثُمَّ
لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
TSUMMA LAM YA’TUU BI ARBA’ATI
SYUHADAA’A = dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi (QS. An-Nuur : 4)
>> lafazh
SYAHADAATIN = ma’dud mu’annats karena mufrodnya SAHAADATIN, maka menggunakan
‘adad mudzakkar ARBA’U.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
Dengan demikian, yang dipandang
mudzakkar dan muannatsnya dalam hal ini bukan pada bentuk lafazh jamaknya, akan
tetapi yg dipandang adalah bentuk isim mufrodnya. contohnya lagi :
جاء
خمسة فتية
JAA’A KHOMSATU FITYATIN =
lima orang pemuda telah datang.
>> Lafazh
“FITYATIN” mempunyai bentuk mufrod “FATAA” adalah ma’dud mudzakkar, makanya
menggunakan ‘adad mu’annats (KHOMSATU). Tidaklah memandang bentuk lafazh
jamaknya yg mu’annats (FITYATIN).
Apabila terdapat dua ma’dud dalam
satu ‘adad. Yang satu mudzakkar dan yg lain muannats, maka yg dipandang
muannats dan mudzakkarnya adalah pada ma’dud yg disebut pertama kali.
Contoh:
حضر
سبعة رجال ونساء
HADHORO SAB’ATU RIJAALIN
WA NISAA’IN = tujuh orang pria dan wanita telah hadir.
وأقبل
خمس نساءٍ ورجال
AQBALA KHOMSATU NISAA’IN
WA RIJAALIN = lima orang wanita dan pria telah menghadap.
Akan berbeda nanti hukum mudzakkar
dan mu’annatsnya apabila adad-adad mufrad tersebut diatas dibentuk menjadi
‘Adad Murokkab atau ‘Adad Ma’thuf yg insyaAllah akan dijelaskan pada bait-bait
selanjutnya.
II. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada
susunan kalam.
III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :
A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:
III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :
A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:
هذه
خمسةُ محمد
HADZIHI KHOMSATU
MUHAMMADIN = ini adalah limanya Zaid (yakni, ini lima barang punya zaid)
خذ
سبعتك
KHUDZ! SAB’ATAKA =
ambillah! Tujuhmu. (yakni, ambilah tujuh barangmu)
B.
Ma’dudnya berbentuk jamak, yg sering digunakan adalah dalam bentuk Jamak Taksir
Qillah. Dan diketahui juga bahwa maksud jamak dalam ma’dud di sini tidak harus
berupa bentuk jamak dalam istilah, tapi juga bisa masuk kepada semua jenis isim
yg menunjukkan jamak, seperti Isim Jamak dan Isim Jinsi Jam’i, yg dalam
penggunaannya banyak menyertakan huruf jar MIN. contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
فَخُذْ
أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ
FA KHUDZ! ARBA’ATAN
MINATH-THOIRI = ambillah empat ekor burung (QS. Al-Baqoroh : 260)
جاء
ثلاثة من القوم
JAA’A TSALAATSATUN MINAL
QOUMI = telah datang tiga kaum.
في
المزرعة سبع من النخل وتسع من الشجر
FIL MAZRO’ATI SAB’UN
MINAN-NAKHLI WA TIS’UN MINAS-SYAJARI = di ladang itu ada tujuh pohon kurma dan
Sembilan pepohonan.
Terkadang juga langsung disusun
secara idhofah. Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
وَكَانَ
فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ
WA KAANA FIL-MADIINATI
TIS’ATU ROHTHIN = Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki (QS.
An-naml:48).
Yang berbeda dengan tiga hal diatas
dalam hukum penggunaan ma’dudnya yakni : 1. Jamak. 2. Jamak Taksir. 3. Jamak
Taksir Qillah. Adalah :
1. Menggunakan bentuk isim mufrod, apabila adad-adad tersebut diatas bertamyiz pada lafazh
MI’ATUN. Contoh :
في
المعهد ثلثمائة طالب وأربعمائة مقعد
FIL-MA’HADI
TSALATSUMI’ATI THOOLIBIN WA ARBA’UMI’ATI MAQ’ADIN = di lembaga itu ada 300
siswa dan 400 bangku.
2. Menggunakan
bentuk jamak shohih, apabila tidak terdapat dalam
bentuk jamak taksirnya. Contoh:
خمس
صلوات
KHOMSU SHOLAWAATIN = lima
sholat.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
اللَّهُ
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ
ALLAHUL-LADZII KHOLAQO
SAB’A SAMAAWAATIN WA MINAL-ARDHI MITSLAHUNNA = Allah-lah yang menciptakan tujuh
langit dan seperti itu pula bumi (QS. Ath-Tholaaq : 12)
>> Lafazh
“SAMAWAATIN” = menggunakan jamak shohih (jamak muannats salim) karena tidak
mempunyai bentuk jamak lain selain itu.
ثَلَاثُ
عَوْرَاتٍ لَّكُمْ
TSALAATU ‘AUROOTIN = tiga
‘aurat bagi kamu (QS. An-Nur : 58)
>> lafazh
“‘AUROOTIN” = jamak shohih sebab juga tidak ada dalam bentuk jamak taksirnya.
Demikian juga menggunakan jamak shohih,
apabila bentuk jamak taksirnya jarang digunakan. Semisal contoh dalam Ayat
Al-Qur’an :
فِي
تِسْعِ آيَاتٍ
FII TIS’I AAYAATIN =
termasuk sembilan buah mukjizat (QS. An-Naml : 12)
>> lafazh
“AAYAATIN” = jamak shohih dari “AAYATIN” ditemukan dari bangsa arab menggunakan
jamak taksirnya yaitu AAYUN tapi tidak banyak digunakan (lihat Al-Mishbahul
Munir hal. 23).
Demikian juga menggunakan bentuk
jamak shohih apabila digunakan bersamaan dengan jamak yg tidak ada bentuk jamak
taksirnya, seperti contoh:
يُوسُفُ
أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ
سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ
YUUSUFU
AYYUHASH-SHIDDIIQU AFTINAA FII SAB’I BAQOROOTIN SIMAANIN YA’KULUHUNNA SAB’UN
‘IJAAFUN WA SAB’I SUNBULAATIN KHUDHRIN WA UKHORU YAABISAATIN = (Setelah pelayan
itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya,
terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum)
yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering (QS. Yusuf : 46)
>> lafazh
SAB’I “SUNBULAATIN” = menggunakan jamak shohih karena berdampingan dengan
lafazh sebelumnya yaitu SAB’I “BAQOROOTIN” yg tidak diketahui bentuk jamak
taksirnya.
Sedangkan apabila tidak berdampingan
dengan jamak shohih yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, maka menggunakan
bentuk jamak taksirnya yaitu “SANAABILA”, contoh dalam Ayat :
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ
سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ
MATSALUL-LADZIINA
YANFIQUUNA AMWAALAHUM FII SABIILILLAAHI KAMATSALI HUBBATIN ANBATAT SAB’A
SANAABILA FII KULLI SUNBULATIN MA’ATU HABBAH. = Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. (QS. Al-Baqoro : 261).
3. Tetap
menggunakan bentuk Jamak Taksir Katsroh
sekalipun ada dalam bentuk Jamak Taksi Qillahnya, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
WAL-MUTHOLLAQOOTU
YATAROBBASHNA BI ANFUSIHINNA TSALAATSATA QURUU’IN = Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. Al-Baqoroh : 228)
>> ‘Adad
TSALAATSATA dimudhofkan kepada ma’dudnya lafazh “QURUU’IN” yg berupa Jamak
Taksir Katsroh, beserta ia mempunyai bentuk Jamak Taksir Qillah yaitu
“AQROO’IN”.
C. MI’ATUN (SERATUS) dan ALFUN (SERIBU)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya
: Tetap
dalam bentuknya baik ma’dudnya Mudzakkar atau Mu’annats.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.
Contoh :
قلَّ
من يعيش مائة سنةٍ
QOLLA MA YA’IISYU MI’ATA
SANATIN = Jarang orang yg hidup seratus tahun.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
AZZAANIYATU WAZ-ZAANIY
FAJLIDUU KULLA WAAHIDIN MINHUMAA M’ATA JALDATIN = Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera (QS. An Nuur : 2)
يَوَدُّ
أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ
YAWADDU AHADUHUM LAW
YU’AMMARU ALFA SANATIN = Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu
tahun (QS. Al-Baqarah : 96)
Terkadang menggunakan ma’dud/tamyiz
bentuk jamak majrur dari ‘adad MI’ATUN, contoh dalam Ayat AL-Qur’an :
وَلَبِثُوا
فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
WA LABITSUU FIY KAHFIHIM
TSALAATSA MI’ATIN SINIINA WAZDAADUU TIS’AN = Dan mereka tinggal dalam gua
mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). (QS. Al-Kahfi 25).
>> karena
dalam ayat ini oleh bacaan salah satu qiro’ah sab’ah (Hamzah dan Al-Kasa’iy)
memudhofkan lafazh MI’ATIN pada lafazh SINIINA menjadi “MI’ATI SINIINA”
Terima kasih assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh terima kasih atas ilmunya yg sangat bermanfaat semoga menjadi amal jariyah yg bermanfaat bagi kita assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
BalasHapus