SANTRI DAN NASIONALISME




SANTRI DAN NASIONALISME
Kata “santri”  itu ada karena adanya seorang Kiai, dan kiailah yang memberikan totalitas keilmuannya kepada siapapun yang belajar padanya. “Tidak lain tujuan menjadi  seorang kiai yaitu hanya untuk menegakkan agama Allah Swt”  menurut  KH. Muzanni Nur Wali. Beliau adalah guru dari penulis semenjak menyantri dan belajar agama dan beliau juga menjadi tokoh masyarakat di daerahnya dan pada waktu itu santrinya lumayan banyak. Ia selalu mengutarakan hanya ingin memperjuangkan agama Allah begitu yang sering beliau ucapkan.
Esensi dari pada santri itu sendiri adalah orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu dan berdiam atau muqim di tempat ia mencari ilmu itu. Dahulu seorang santri sangatlah erat terhadap keislaman dan memberikan seluruh jiwa raganya terhadap seorang kiai itu sendiri, karena menganggap bahwa berkat perjuangan dan keikhlasan seorang kiai, ia bisa menjadi pembuka cakrawala dunia, sehingga tidak heran dari sekian banyak santri, tidaklah lain hanyalah barokah yang dia harapkan. Karena barokah itu bagi santri klasik sangatlah diharapkan, bahkan disaat apapun seorang santri klasik sangat ingin untuk selalu diperintah “dalam bahasa maduranya e-kon-pakon” itu yang selalu mereka harapkan, tujuannya hanyalah ingin mendapatkan barokahnya.
Konon sedikit berbagi pengalaman, ada seorang santri (santri klasik) yang ia bertahun-tahun menyantri kepada salah satu kiai, ia sangatlah ta’dim dan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh kiainya atau ustadnya. Hingga pada suatu ketika si santri itu pulang dari tempat ia mengaji kitab, dia (si santri) menemukan mangga yang jatuh dari pohonnya dan sama si santri itu diambil, tidak heran banyak dari tiap pondok pesantren itu kianya punya banyak buah-buahan dan itu kadang sampai gak kemakan. Lalu si santri itu memiliki firasat bahwa buah itu tidaklah berharga bagi kiainya. Akhirnya dia pun memakannya sampai habis. Setelah  habis dia makan baru dia ingat dan sadar bahwa pekerjaan itu baik. Singkat cerita akhirnya ia mendatangi kiainya dan menjelaskan panjang lebar sampai si kiainya itu mengikhlaskannya.  Dari kisah itu bahwa esensi santri sangatlah berhati-hati dan waspada dari tiap tingkah laku yang diperbuatnya..
Santri klasik dulu sangatlah tinggi rasa penghormatan terhadap gurunya, sehingga tidak sedikit dari alumni-alumni ketika pulang kemasyarakat itu menjadi tokoh dan menjadi panutan dari masyarakat sekitar, maka dari itu setiap gerak-geriknya selalu dipandang dan diperhatikan oleh masyarakat. Hal  itu wajar karena dahulu masih sangat minim orang yang menyantri atau mondok. Iya mungkin masalah finansial dari keluarga mereka yang biasanya menjadi hambatan. Bahkan terkadang yang mondok dan mencari guru kemana-mana itu cenderung terhadap para santri yang masalah finansialnya itu tercukupi. Namun ada juga yang tidak mempermasalahkan hal itu, karena bertekat keras untuk tetap mencari ilmu, memperdalam  agama Allah serta ingin menghilangkan kebodohan. Kebanyakan  yang rajin saat di pondok itu ialah orang yang hanya hidupnya sederhana saja, tapi tidak semuanya seperti itu.
Tanpa kita sadari bahwa secara garis besar ada 6 keunggulan santri dari pada nun santri. Yaitu :
1.   AGAMA YANG KENTAL
Sering di tanya "kenapa mondok" kebanyakan santri menjawab "untuk mendalami ilmu agama", memang nyatanya seperti itu, bahkan dikatakan semua orang tua memondokkan anaknya agar ilmu agamanya menjadi "kental", tidak seperti di sekolahan Formal yang hanya mempelajari "Ilmu agama" saja, di Pondok Pesantren santri diajarkan "Ilmu Agama" beserta Sub sub nya, seperti Ilmu Fiqih, Tauhid, Akhlaq, hingga Ilmu Nahwu, dan itu semua diajarkan oleh kyai / ulama yang tidak diragukan lagi kebenarannya.
2.   SOPAN SANTUN
"Adab / Akhlaq berada di atas ilmu" itulah ajaran pertama yang di dapat oleh santri, meskipun berbagai ilmu yang di dapat tapi ajaran pertama itulah yang dijadikan prinsip oleh santri, mereka paham betul bahwasannya orang yang berakhlaq lebih mulia dari orang berilmu.
3.   DISIPLIN
"Dipaksa, terpaksa, terbiasa" semua santri mengalami hal itu, dengan sistem seperti itu Pondok Pesantren mencetak santri yang kedisiplinannya berbeda dari kebanyakan orang, bagaimana tidak , kejadian seperti ini sering terjadi pada santri baru, awalnya mereka "dipaksa" untuk mengikuti peraturan, jika tidak mereka akan di ta'zir / di hukum yang mengakibatkan rasa malu, tak tahan dengan hukumannya hingga mereka sadar jika terus terusan melanggar, sanksi yang lebih berat menanti, mau tak mau mereka "terpaksa" mentaati peraturan yang ada, seiring berjalannya waktu mereka masih menjalani ke "terpaksa" an tersebut dan akhirnya mereka "terbiasa", tanpa disuruh pun mereka akan mentaati peraturan yang ada dan itu menjadikan mereka sebagai orang yang benar benar disiplin.
4.   KEKELUARGAAN
Di awal mondok sampai kapanpun akan tetap menjadi horor, horor bukan hanya cerita misteri saja XD, ditinggal orang tua itulah kehororan yang sebenarnya bagi santri baru, dengan kepergian keluarga yang merelakan anaknya untuk mencapai kesuksesan yang sebenarnya, bukan berarti para santri tidak mempunyai siapa siapa, keluarga baru mereka sedang menanti untuk berbagi suka maupun duka selama di Pondok Pesantren, Solidaritas santri dengan santri yang lain sungguh luar biasa hebatnya, bagaimana tidak, istilah mayoran (makan senampan), tidur sebantal, bahkan mandi beramai ramai XD, hal hal seperti itu hanya ada di PONDOK PESANTREN, sifat kekeluargaan mereka bukan itu saja, kejadian hutang piutang contohnya, kejadian seperti itu hal yang lumrah bagi kalangan santri, santri yang dapat kiriman dari orang tuanya dengan ikhlas mereka bagikan untuk temannya "Ben podo podo roso" itulah prinsip dari kaum santri.
5.   SEDERHANA
Sedari awal santri memang di ajarkan untuk hidup sederhana, dimulai dari makanan, pakain, hingga tempat tidur yang beralaskan kedinginan, seperti makanan yang ber lauk pauk kan daging ayam, bagi kalangan selain santri lauk pauk seperti itu hal yang biasa tapi tidak bagi santri, "hal seperti itu merupakan sebuah anugerah". dan kesederhaan itu akan di bawa ke kehidupan bermasyarakat,
            "Mangan Sak Ono e" / makan se adanya
            "Kelambi Sak ono e" / pakaian seadanya
            "Penting Ono lan Trimo" / penting ada dan diterima.
Jadi jangan heran jika seorang santri makan, berpenampilan seadanya, karna sejak awal memang itu yang di ajarkan.
6.   MANDIRI
Terlepas dari kedua orang tua santri tertuntut untuk melakukan kehidupan sehari hari tanpa bantuan beliau beliau, seperti Cuci Cuci baju, menyiapkan peralatan sekolah dsb, perilaku perilaku positif tersebut menimbulkan sifat kemandirian santri, mereka sadar selama  bisa mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain mereka akan mengerjakannya seorang diri.
            Beda halnya dengan santri yang modern yang terkadang hanya namanya saja “santri”, tapi perkerjaan maupun tingkah lakunya itu tidak mencerminkan seorang santri. Dan bahkan penghormatannya sekalipun itu jauh atau bahkan tidak ada sama sekali dalam santri yang sekarang ini, itu karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, bisa melalui internal maupun eksternal, karena mau ataupun tidak. Hal  itu pasti akan selalu ada dalam dirinya sendiri. Faktor internalnya adalah ketidakmauan untuk mondok, karna dalam dirinya itu memang tidak pengen untuk mondok. Dan juga ada kalanya karena faktor eksternal yaitu karena adanya dorongan dari teman-temannya atau karena pergaulan yang kurang mendidik, sehingga cenderung anak itu tidak mau mondok.
Oleh sebab itu, santri yang seperti itu ketika terpaksa berangkat untuk mondok jelas berkurang rasa penghormatannya terhadap guru-gurunya dan bahkan pada kiainya, karena mereka itu biasanya masih memiliki rasa yang tidak nyaman ketika berada dalam suasana pesantren, namun pasti nanti pada akhirnya akan menjadi menyenangkan, sehingga perlu program ayo mondok itu sangatlah membantu terhadap anak-anak untuk selalu semangat untuk mondok. Dan kalau sudah tiap hari atau bahkan  tiap waktu selalu dinasehati tentang enaknya mondok maka pastinya akan senang dia di pondok dan lebih enaknya lagi nantinya kadang malah lebih kerasan di pondok dari pada di rumah.
Namun dalam membentuk suatu karakter  anak atau peserta didik, itu dilakukan semenjak masih anak-anak. Kita  biasakan untuk mendidik tentang keagamaan, baik itu yang bersifat pribadi atau non pribadi seperti  dimasukkan  ke tempat yang khusus mendidik tentang agama, contoh di sekolahkan Diniah. Jangan hanya kita ajarin matematika saja atau ipa atau yang bersifat dunia saja, melainkan juga diajarkan mengenai agama, karena kalau kita hanya belajar ilmu dunia saja tanpa belajar  ilmu agama maka ilmu kita menjadi kurang seimbang, begitu juga sebaliknya, belajar agama saja tanpa belajar ilmu pengetahuan maka juga tidak akan seimbang.
Jadi, sangatlah penting untuk membentuk karakter anak-anak dan peserta didik pada usia dini. Demi terwujudnya generasi penerus bangsa yang agamis dan bereligius yang hakiki, maka hal ini menjadi tanggung jawab bagi pemuda-pemuda generasi sekarang. seperti dalam pribahasa  yang berbahasa arab 
شبان اليوم رجال الغد
artinya “pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok.”
Itulah sebabnya perlu  adanya pendidikan berbasis pesantren. Di pesantren semua cabang ilmu ada, termasuk apa yang kita  inginkan. Semuanya ada tinggal kita mau yang mana. Bahkan  cerminan untuk ketika pulang nanti ke masyarakat,  ada semua dalam lingkungan pesantren. Itulah mengapa anak-anak kita dipandang perlu untuk mondok dan menjadi santri yang Tafakuh Fiddin.
Santri di zaman sekarang justru malah memilki peran yang sangat penting, dan bahkan menjadi asing bagi kalangan yang tidak pernah merasakan yang namanya menjadi santri. Namun hal semacam itu menjadi trend dan menjadi hal yang sangat istimewa karena tidak cukup kita menggunakan sarung yang berbaju bertakwa serta memakai kopyah, akan tetapi yang dimaksud santri itu sendiri yaitu haruslah pernah mondok dalam lembaga pondok pesantren untuk bisa menjadi santri.
Setelah bergantinya zaman dan waktu santri itu menjadi santri melenial yang menjadi ciri khas yang baik bagi yang pernah mondok. Namun jelas berbeda antara pondok pesantren  yang berkualitas modern dan pondok pesantren  yang berkualitas salaf, yang menjadi perbedaan dalam lingkungan modern yang mana dalam hal agamanya yang tidak terlalu ditekankan. Namun esensinya ya tetap dinamakan santri.
Dengan pengajaran akhlaq dipesantren.santri diarahkan pada terbentuknya karakter jujur,kerja keras,saling mengasihi,terus belajar dan lain sebagainya.Santri juga dituntut untuk selalu mengasah spiritualitasnya disamping terus mengasah kemampuan intelektualnya.Melalui Riyadloh,sholat malam dan lain lain karakter santri akan kuat dalam menghang arus negatif globalisasi.
Karakter-karakter santri  demikianlah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam membangun Peradaban Indonesia Modern.Dengan motto pesantren “Al muhafadzotu ala qodim assolih wal akhdu bil jadidi al aslah(menjaga budaya yang bai dan mengambil budaya yang lebih baik)” bangsa ini akan berjalan sesuai rel yang telah digariskan oleh para founding fathers.Tidak terseret dan terjebak dalam globalisasi.
Tentu kita berharap ,santri santri sekaliber Wahid Hasyim,Abdurrahman Wahid akan terus lahir dari rahim pesantren dan dapat menjadi poros utama dalam pembentukan karakter Peradaban Indonesia Modern
Santri yang mondok dengan system salaf itu biasanya hanya disibukan dengan membaca dan memaknai kitab kuning yang tanpa harakat  (gundul) yang biasanya belajar di lantai-lantai dan bahkan di tanah, berbeda dengan santri modern yang biasanya selalu di atas meja. kitab kuning santri salaf seperti al-fiyah ibn malim, imrithi  dan sejenisnnya. Namun berbeda dengan santri yang modern yang biasnya menyibukan diri dengan menghafal bahasa inggris, rumus-rumus atau sejenisnya yang meskipun ada seperti hafalan mufrodat atau nahwu shorof, namun tidak terlalu ditekankan.
Meskipun tempat yang di tempati meraka hanya terbuat dari bilah-bilah bambu (gedek) dan alas yang seadanya, namun yang namanya santri tetaplah selalu bahagia dan senang dalam menikmati yang seperti itu. Bahkan tidak hanya tempatnya, makanan yang mereka makan  tidak pernah ada yang  mengeluh apapun itu, bahkan mereka tetap memakannya dengan penuh kebahagiaan. Sungguh hebat perjuangan seorang santri.
Dalam diri santri sendiri itu terdapat beberapa martabat yang menyebabkan menjadi santri yang idiologis atau menjadi sufi kalau dalam kitabnya al-gazali.
1.   Santri ma’rifah 
2.   Santri toriqot
3.   Santri mukasyafah
         kita kenali mulai dari hakikat Santri ma’rifah (Santri awal). Yang dimaksud dengan “santri ma’rifah ialah santri yang masih dalam tingkatan awal ketarekatan. Atau yang masih sama halnya dengan santri pada umunya, karena tahap ini masih pembelajaran. Batinnya masih mempunyai sifat kekhawatiran terhadap sesuatu selain Allah, ia masih senang berbuat Keburukan. Yang masih tidak bisa menghindari iri, dengki, hasud, dan penyakit hati lainnya. Jiwanya menyatakan tiada Tuhan selain Allah, rasanya merasakan hadirnya Allah dalam dirinya, terang batinnya menyaksikan tiada sesuatu di dalam dirinya kecuali Allah. Imannya masih membaca bahwa seluruh alam ini di gerakan Allah juga (Af'alullah). Ilmunya masih dinamakan ilmu yakin, yang masih berpegang pada kitab-kitab yang telah tertulis. Namun Pengabdiannya dan Ibadahnya sudah mampu terarah semata-mata karna Allah. Tauhidnya masih belajar dalam Tauhid wujudiyah, sampai ia mampu merasakan tunggal wujud dengan seluruh alam, yaitu satu kulit satu daging, satu nyawa satu kehidupan, satu alam satu Ketuhanan. 
         Di awal pembelajaran santri belajar untuk bersungguh-sungguh dalam menyelidiki penyebab-penyebab penderitaan yang di alaminya pada kehidupan, baik dalam kejasmaniannya maupun dalam tatanan kerohaniannya, dan dari apa yang telah di ketahui dari penyelidikannya ini harus menjadi bacaan dan pegangan hidup dalam setiap harinya.
         Dengan demikian segala pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam kehidupannya akan mudah terjawab. Santri akan tahu dan paham betul sebab akibat dari segala perbuatannya. Pengalaman masalalunya akan membentuk program bagi cara hidupnya kedepan.
         Setelah itu santri harus lebih berhati-hati dalam menata kehidupannya, ia harus lebih disiplin untuk tidak melakukan perbuatan yang memperburuk tujuh unsur kehidupannya lagi seperti:
1.Menahan Tubuh agar tidak berbuat kerusakan 
2.Pemikiran yang merusak pada dirinya
3.Menahan nafsu (keinginan) yang jelek
4.Keterangan atau Petunjuk yang merusak
5.Penghidupan yang merusak terhadap social 
         Selama belajar disiplin dalam menghindari lima yang dapat merusak ini, dengan bertahap pula sang santri belajar membangun beberapa tahapan pembenaran dalam kehidupannya sendiri yaitu:
1. Tubuh di usahakan untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang yang baik
2. Pikirannya digunakan dengan memikirkan  pengetahuan-pengetahuan yang benar
3. Hawa nafsu haruslah digunakan dengan keinginan-keinginan yang baik dan benar
4.Cahaya batinnya selalu berusaha menerangi apa-apa yang belum benar
5.Seluruh hidupnya berusaha membangun kebenaran
Itulah yang seharusnya dilakukan seorang santri untuk menjadi santri yang hebat. Dan ini masih tingkat dasar untuk menaik tingkatkan keselanjutnya.
         Namun juga penting untuk diketahui tentang keilmuan agamanya, yang selalu setiap harinya mengaji kitab kuning, memaknai, membca, bahkan ada yang menghafalnya. Sungguh sangat luar biasa itu seorang santri demi hanya untuk menghidupkan ajaran-ajaran Allah serta syariatnya. Selain pada itu santri juga diajarkan tentang konsep pendidikan nasional maupun internasional, ini semua agar tujuannya semua santri tidak ketinggalan informasi dan pengetahuan. Juga yang tidak kalah pentingnya yaitu pesantren juga mengajarkan keharmonisan dalam bersosial ataupun bermasyarakat.
            Jangan ragu terhadap ikatan kekeluargaan di pondok pesantren. Kehidupan bersama yang dijalani oleh para siswa, membuat mereka terbiasa untuk membangun atmosfer kekeluargaan dan mendidik rasa empati. Hal ini karena hubungan antar individu di pondok pesantren tidak hanya terjadi sewaktu pelajaran, tetapi juga kehidupan sehari-hari, Pondok pesantren menanamkan budaya menghormati guru Meskipun semua institusi pendidikan mengajarkan hal serupa, namun pondok pesantren membawanya ke level yang lebih jauh. Guru benar-benar dianggap sebagai orang yang menyampaikan ilmu. Tanpa guru, kehidupan manusia akan tersesat. Dan hanya di pondok pesantren, seorang benar-benar dihormati. Dengan hidup di pesantren, anak bisa terbiasa hidup hemat. Gak heran, kerasnya hidup di masa depan jadi lebih gampang dihadapi. Anak pondok pesatren biasanya menghindari hidup foya-foya. Jangankan mau foya-foya, bawa uang berlebihan saja mungkin langsung diambil pengawas pondok. Hidup hemat dan susah pun haru dijalani. Dan istimewanya, saat ada rejeki lebih, anak pondok pesantren akan dipaksa untuk berbagi dengan santri yang lain.
Santri” dan “pesantren” baik klasik ataupun modern berpotensi membangun Indonesia, Santri memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan lulusan dari sekolah umum, khususnya pengetahuan dan kecerdasan dibidang spiritual dan akhlak. Bila dikaitkan dengan kasus kriminal yang marak terjadi di Indonesia, maka mendorong para santri untuk meningkatkan peran mendongkrak keberhasilan pembangunan Indonesia menjadi salah satu faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Kini saatnya pemerintah perlu memberi ruang yang cukup, termasuk iklim kondusif kepada para “santri” dan “pesantren” agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Pesantren tidak cukup hanya menciptakan para santri yang memiliki kompetensi tinggi tetapi juga harus mampu menciptakan produk kreatif dan inovatif yang dapat dikontribusikan ke ranah industri bernuansa islami. Para santri perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), agar dapat menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seperti pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pembangunan karakter yang jujur, berkhlak mulia, motivasi tinggi, tahan malang serta cerdas dan kreatif. Bahkan harus mampu berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan strategis seperti pembangunan dibidang ekonomi, lingkungan hidup, kemanan kedaulatan negara dan budaya. Karena itu pesantren termasuk pesantren modern seperti yang sekarang kita lihat di berbagai tempat di Indonesia masih perlu terus diselaraskan baik kualitas maupun jumlah. Program studi yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat perlu diperluas, sehingga partisipasi “santri” dan “pesantren” dalam pembangunan bangsa semakin nampak dan nyata.
Untuk itu terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan di tingkat awal yaitu pengembangan kelembagaan pesantren, sumber daya dan jaringan pesantren. Ketiga hal ini sangat dekat dengan rencana strategis Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, kenapa?, karena meningkatkan daya saing dan kompetensi santri tidak terlepas dari program dan kebijakan yang ada di ranah pendidikan, riset dan inovasi. Jika itu dilakukan maka Kementerian di atas wajib meningkatkan program dan kegiatannya dalam rangka membangun kapasitas “santri” dan “pesantren”  sesuai dengan kebutuhan pembangunan di Indonesia.










BIOGRAFI SINGKAT
NAMA                        : Ainul yaqin
NIM                            : U20153014
PRODI                        : Bahasa Dan Sastra Arab
FAKULTAS               : Usuludin, Adab Dan Humaniora
WA                             : 085749281883
TLP                             : 085331654614

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isim adad

BATAS AWAL DAN AKHIR PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK