CARA PEMILIHAN STRATEGI DAN INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DALAM PENCAPAIAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN



CARA PEMILIHAN STRATEGI
DAN INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR
DALAM PENCAPAIAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar





Ainul Yaqin                  (U20153014)


PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
MEI 2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu relevansi, serta efisiensi manajemen pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam memasuki tanangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia.
Banyak kendala yang dihadapi dalam sistem pendidikan sekolah, salah satu di antara asalah besar dalam bidang pendidikan di Indonesia yang banyak diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata prestasi belajar dan penyimpangan perilaku. Masalah lainnya adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi oleh peran guru (teacher centered), walaupun sudah seringkali diberi pelatihan. Guru lebih banyak menempatkan siswa sebagai objek, bukan sebagai subjek didik.
Dalam proses pendidikan pada umumnya masih belum menerapkan pembelajaran sampai anak menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, tidak aneh bila banyak siswa yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Dan tidak heran pula jika mutu pendidikan nasional masih dianggap rendah. Sistem persekolahan yang tidak memberikan pembelajaran sampai tuntas inilah menyebabkan banyak orang berpendapat sebagai pemborosan anggaran pendidikan.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa pengertian pembelajaran tuntas ?
2.    Bagaimanakah sistem pembelajaran tuntas ?
3.    Bagaimana indikator pelaksanaan pembelajaran tuntas ?
4.    Apa kelebihan dan kekurangan pembelajaran tuntas ?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan pengertian pembelajaran tuntas.
2.    Menjelaskan tentang sistem pembelajaran tuntas.
3.    Menjelaskan indikator pelaksanaan pembelajaran tuntas.
4.    Menjelaskan kelebihan dan kekuurangan pembelajaran tuntas.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pembelajaran Tuntas
Pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.[1] Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu.
Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta didik tersebut belum optimal. Block (1971) menyatakan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik sebagai berikut :[2]
Degree of Learning = f    Time actually spent
                                         Time needed
Model ini menggambarkan bahwa tingkat penguasaan kompetensi (degree of learning) ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang benar-benar digunakan (time actually spent) untuk belajar, dibagi dengan waktu yang diperlukan (time needed) untuk menguasai kompetensi tertentu.[3]

B.     Sistem Pembelajaran Tuntas
1.      Konsep Pembelajaran Tuntas
Sistem belajar tuntas merupakan suatu pola pengajaran terstruktur yang bertujuan untuk mengadaptasikan pengajaran kepada kelompok siswa yang besar (pengajaran klasikal) sedemikian rupa, sehingga diberikan perhatian secukupnya pada perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara siswa, khususnya yang menyangkut laju kemajuan atau kecepatan dalam belajar (rate of progress). Sistem ini diharapkan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan yang sering melekat pada pengajaran klasikal; antara lain hanya siswa pandai yang akan mencapai sebagian dari tujuan-tujuan instruksional, bahkan boleh jadi sama sekali tidak mencapai apa-apa. Bagi siswa yang terakhir ini, belajar di sekolah merupakan sumber frustasi, motivasi belajar menghilang, dan rasa percaya diri lenyap. Dengan adanya iindividualisasi pengajaran, terutama dilaksanakan melalui kecepatan belajar, dan pertolongan secukupnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa dalam hal jumlah waktu belajar dan pertolongan / pendampingan individual, diusahakan setiap siswa mencapai semua tujuan pembelajaran, dan kelompok siswa sebagai satuan pun dapat melaju dalam mempelajari materi pelajaran dengan tempo yang layak dan wajar.
Agar pola pengajaran terstruktur ini efektif dan efisien, diperlukan hal-hal berikut :
a.         Tujuan-tujuan pembelajaran yang harus dicapai ditetapkan secara tegas. Semua tujuan itu dirangkaikan, materi pelajaran dibagi atas unit-unit pelajaran yang diurutkan sesuai dengan rangkaian semua tujuan instruksional.
b.         Siswa dituntut supaya mencapai tujuan pembelajaran lebih dahulu, sebelum siswa diperbolehkan mempelajari unit pelajaran yang baru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang kedua; tujuan pembelajaran yang kedua harus tercapai lebih dahulu sebelum siswa maju lebih lanjut; dan seterusnya. Dengan kata lain, “yang berikutnya” tidak dimulai , sebelum “yang sebelumnya” dikuasai. Maka sistem belajar ini menekankan “penguasaan” (mastering);
c.         Motivasi belajar dan efektivitas usaha belajar siswa harus ditingkatkan dengan memonitor proses belajar siswa melalui testing berkala dan kontinu, serta memberikan umpan balik kepada siswa mengenai keberhasilan atau kegagalannya pada saat itu juga (testing formatif);
d.        Diberikan bantuan atau pertolongan kepada siswa yang masih mengalami kesulitan pada saat-saat yang tepat, yaitu sesudah penyelenggaraan testing formatif, dan dengan cara yang efektif untuk siswa bersangkutan.[4]
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah memang boleh diharapkan bahwa setiap siswa akan mencapai semua tujuan pembelajaran, dan apakah “penguasaan” itu harus diartikan sebagai penguasaan yang serba sempurna tanpa kekurangan apapun.
Pada dasawarsa ketiga abad ini, Carleton Mashburne dan Henry C. Morrinson sudah memperjuangkan suatu sistem pengajaran yang memungkinkan semua siswa, paling sedikit sebagian besar, dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan sekolah secara maksimal. Materi pelajaran dijabarkan atas sejumlah unit satuan bahan yang dirangkaikan secara berurutan; satuan bahan yang satu harus dikuasai lebih dahulu sebelum satuan bahan berikutnya dihadapi. Siswa yang belum menguasai satuan bahan tertentu, sejauh nampak dari hasil pada suatu tes kemajuan belajar (diagnostic progress test), harus melakukan usaha-usaha perbaikan. Program pengajaran perbaikan dapat terlaksana melalui pengajaran kembali kepada kelompok yang belum menguasai melalui pengajaran remedial secara individual (tutoring), serta dengan mengatur kembali kegiatan-kegiatan belajar siswa, atau melalui tindakan korektif terhadap teknik-teknik studi yang digunakan oleh siswa. Landasan dari strategi pengajaran yang dewasa ini dikenal sebagai “mastery learning”, dikembangkan dalam karya-karya John B. Carroll, Benyamin S. Bloom dan James H. Block dalam dasawarsa ketujuh dan kedelapan.
John B. Carrol mengembangkan suatu model belajar yang antara lain bertitik tolak pada pandangan terhadap kemampuan intelektual siswa sebagai indkasi untuk belajar menurut laju kecepatan tertentu, bukan sebagai indikasi tenrtang tingkat keberhasilan belajar yang dapat dicapai oleh siswa. Kemampuan siswa dipandang sebagai ukuran kecepatan dalam belajar, yaitu jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk sampai pada tingkat penguasaan atau tingkat keberhasilan tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang pandai akan dapat menguasai materi pelajaran dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan dengan siswa yang tidak begitu pandai, yang memerlukan waktu lebih banyak untuk menguasai materi pelajaran yang sama. Dengan demikian, setiap siswa dipandang mampu untuk menguasai materi pelajaran secara memuaskan, asal disediakan jumlah waktu yang cukup baginya. Perbedaan kemampuan antara siswa diukur menurut waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengajaran. Oleh karena itu, harus disediakan waktu yang cukupbagi masing-masing siswa agar sampai pada tingkat “penguasaan” yang diharapkan. Namun demikian, siswa yang tidak sepenuhnya menggunakan waktu yang disediakan, dan tidak belajar dengan sungguh-sungguh selama waktu yang disediakan itu, tetap saja tidak akan mencapai tingkat penguasaan yang diharapkan. Jadi tingkat penguasaan dalam belajar bergantung pada jumlah waktu yang disediakan maupun pada jumlah waktu yang sebenarnya digunakan untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Apabila seorang siswa tidak mencapai tingkat keberhasilan yang dituju, berarti hal ini disebabkan tidak disediakan jumlah waktu yang cukup sesuai dengan kebutuhan siswa; atau karena waku yang disediakan dan sebenarnya cukup, tidak digunakan dengan sungguh-sungguh. Jadi tingkat penguasaan dalam belajar bergantung pada jumlah waktu yang sebenarnya digunakan, dalam perbandingan dengan jumlah waktu yang disediakan. Misalnya, jika seorang siswa hanya belajar dengan sungguh-sungguh selama 2 jam, padahal disediakan waktu 3 jam, maka tingkat penguasaan atau tingkat keberhasilan hanya akan mencapai 67% dari target yang direncanakan. Waktu yang disediakan untuk belajar, selain bergantung pada kecepatan belajar siswa, juga ikut ditentukan oleh kualitas pengajaran dan kemahiran siswa untuk menangkap suatu uraian dalam bentuk bahasa lisan atau tertulis. Dengan demikian, faktor-faktor atau variabel-variabel yang berperan sesuai dengan konsepsi Carroll adalah jumlah waktu yang disediakan, ketekunan siswa untuk menggunakan waktu yang disediakan dengan sebaik-baiknya, jumlah waktu yang dibutuhkan mengingat kemampuan siswa, taraf kesulitan bahan, mutu pengajaran, dan kemahiran siswa untuk mengikuti instruksi dalam bentuk komunikasi verbal.[5]
2.      Perencanaan belajar tuntas.
a.         Merumuskan tujuan bidang pengajaran.
b.         Mempersiapkan alat evaluasi.
c.         Menjabarkan atau memecahkan bahan pelajaran menjadi urutan unit-unit pelajaran yang kecil.
d.        Mengembangkan prosedur koreksi dan umpan balik bagi setiap unit pelajaran.
e.         Menyusun tes diagnostik kemampuan belajar untuk memperoleh informasi atau balikan bagi guru dan siswa tentang perubahan yang terjadi sebagai hasil pengajaran sebelumnya sesuai dengan unit pelajaran.
f.          Mengembangkan suatu himpunan materi pengajaran alternatif atau learning corrective, sebagai alat untuk mengoreksi hasil belajar, yang bersumber pada setiap pokok uji satuan tes
g.         Setiap siswa harus menemukan kesulitannya sendiri dalam mempelajari bahan pengajaran. Siswa harus bias menemukan cara belajar alternative mengenai bahan yang belum dikuasainya, kemudian memilih cara belajarnya sendiri.[6]

3.      Prinsip belajar tuntas
Pengembang konsep belajar tuntas mendasarkan pengembangan pengajarannya kepada prinsip-prinsip dibawah ini :
a.       Sebagian besar siswa dalam situasi dan kondisi belajar yang normal dapat menguasai sebagian terbesar bahan yang diajarkan. Penyebaran siswa dalam kelas tidak mengikuti distribusi normal.
b.      Dalam menyusun strategi pengajarn tuntas, guru memulai dengan merumuskan tujuan-tujuan khusus yang harus dikuasai oleh siswa. Guru juga menetapkan tingkat penguasaan yang harus dicapai siswa.
c.       Sejalan dengan tujuan-tujaun khusus tersebut, guru merinci bahan ajar menjadi satuan-satuan bahan ajar yang kecil yang mendukung pencapaian sekelompok tujuan khusus tersebut. Berdasarkan tingkat penguasaan siswa dalam satuan pelajaran tersebut, mereka dapat pindahkan dari satu satuan pelajaran ke satuan pelajaran berikutnya.
d.      Selain disediakan bahan ajar untuk kegiatan belajar utama, disusun juga bahan ajar untuk kegoatan perbaikan dan pengayaan. Konsep belajar tuntas sangat menekankan pentingnya peranan umpan balik. Kemajuan belajar siswa harus segera dinilai, dan hasil penilaian tersebut menjadi umpan balik bagi kegiatan perbaikan atau pengayaan. Perbaikan diberikan kepada siswa yang belum menguasai bahan ajar secara tuntas, sedangkan pengayaan diberikan kepada siswa yang perkembangan belajarnya sangat cepat.
e.       Penilaian hasil belajar tidak menggunakan acuan norma, tetapi menggunakan acuan patokan. Hal ini karena acuan norma menggunakan pegangan penguasaan rata-rata kelas, jadi bersifat lebih relatif. Sedangkan acuan patokan berpegang pada sesuatu yang telah ditetapkan, umpamanya menguasai 80% atau 85% dari tujuan belajar. Dengan demikian, acuan penilaian konsep belajar tuntas bersifat absolut.
f.       Konsep belajar tuntas juga memerhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual. Prinsip ini direalisasikan dengan memberikan keleluasaan waktu, yaitu siswa yang pandai atau belajar cepat bisa maju lebih dahulu ke satuan pengajaran berikutnya, sedangkan siswa yang lambat dapat menggunakan waktu lebih banyak / lama untuk menguasai bahan yang diberikan secara tuntas. Pelaksanaan pengajarn demikian memungkinkan diterapkannya prinsip maju berkelanjutan, yaitu siswa dapat pindah/naik ke bahan/kelas berikutnya tanpa harus menanti teman-temannya.
g.      Konsep belajar tuntas dapat dilaksanakan dengan beberapa model pengajaran, tetapi yang paling tepat adalah dengan model-model sistem pembelajaran seperti pengajaran berprogram, pengajaran model,, paket belajar, model satuan pengajaran, pengajaran dengan bantuan komputer, dan sejenisnya. Model-model tersebut cocok untuk menerapkan konsep belajar tuntas, karena memiliki dasar-dasar pemikiran yang sesuai yang bertolak dari konsep behaviorisme dan berpegang pada model pengajaran sebagai sistem atau sistem instruksional. Hal yang paling penting adalah dapat diselenggarakan pengajaran secara individual, sehingga hampir seluruh prinsip belajar tuntas yang disebutkan diatas dapat dilaksanakan.[7]

C.    Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas
1.      Metode Pembelajaran
Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik / preskriptif. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok siswa (kelas), tetapi juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual siswa sedemikian rupa, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing siswa secara optimal.[8] Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a.       Mengidentifikasi prasyarat (prerequisite)
b.      Membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi
c.       Mengukur pencapaian kompetensi peserta didik
Metode pembelajaran yang sangat ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang per orang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer.[9]
2.      Peran Guru
Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam mendorong keberhasilan siswa secara individual. Pendekatan yang digunakan mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller, yang lebih menekankan pada interaksi antara siswa dengan materi / objek belajar.
Guru harus berperan secara intensif dalam hal-hal berikut :
a.         Menjabarkan / memecah KD (kompetensi dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memerhatikan pengetahuan prasyaratnya;
b.         Menata indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit;
c.         Menyajikan materi dalam bentuk yang bervariasi;
d.        Memonitor seluruh pekerjaan siswa;
e.         Menilai perkembangan siswa dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotorik, dan afektif);
f.          Menggunakan teknik diagnostik;
g.         Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi siswa yang mengalami kesulitan.[10]

3.      Peran Peserta Didik
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran siswa sebagai subjek didik. Fokus program sekolah bukan pada “Guru dan yang akan dikerjakannya” melainkan pada “Siswa dan yang akan dikerjakannya”. Oleh karena itu, dalam KTSP yang menganut pendekatan pembelajaran tuntas, siswa lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang diperlukan. Artinya siswa diberikan kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian kompetensi. Kemajuan siswa sangat tertumpu pada usaha serta ketekunan siswa secara individual.

4.      Evaluasi
Ketuntasan belajar ditetapkan dengan penilaian acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar, tidak ditetapkan berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini, batas ketuntasan belajar harus ditetapkan oleh guru, misalnya apakah siswa harus mencapai nilai 75, 65, 55 atau sampai nilai berapa seseorang seseorang siswa dinyatakan mencapai ketuntasan dalam belajar.
Asumsi dasarnya adalah :
h.         Semua orang bisa belajar apa saja, hanya waktu yang diperlukan berbeda;
i.           Standar harus ditetapkan terlebih dahulu, dan hasil evaluasi tersebut adalah lulus dan tidak lulus.[11]
Sistem evaluasi dalam pembelajaran tuntas adalah menggunakan ujian berkelanjutan, dengan ciri-ciri sebagai berikut;
a.         Ujian dengan sistem blok (kesatuan KD);
b.         Tiap blok terdiri dari satu atau lebih Kompetensi Dasar (KD);
c.         Hasil ujian di analisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial, program pengayaan, dan program percepatan;
d.        Ujian mencakup aspek kognitif dan psikomotor;
e.         Aspek afektif diukur melalui kegiatan inventori afektif, seperti pengamatan, kuesioner, dan sebagainya;
f.          Sistem penilaian mencakup jenis tagihan dan bentuk instrumen soal.
Dalam pembelajaran tuntas, pembuatan tes diusahakan disusun dalam sub-sub KD sebagai alat diagnosis terhadap program pembelajaran. Dengan menggunakan tes diagnostik yang dirancang secara baik, siswa dimungkinkan dapat menilai sendiri hasil tesnya, termasuk mengenali dimana ia mengalami kesulitan dengan segera. Sedangkan penentuan batas pencapaian ketuntasan belajar, meskipun umumnya disepakati pada skor/nilai 75 (75%), namun batas ketuntasan yang paling realistik atau paling sesuai adalah ditetapkan oleh sekolah atau daerah, sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penentuan batas ketuntasan untuk setiap KD.[12]


D.    Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Tuntas
Srategi pembelajaran tuntas mengandung beberapa keunggulan, antara lain:
1. Strategi ini memungkinkan siswa belajar lebih aktif sebagaimana yang disarankan dalam konsep CBSA yang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri sendiri, memecahkan masalah sendiri dengan menemukan dan bekerja sendiri.
2. Strategi ini berorientasi kepada peningkatan produktifitas hasil belajar, yakni siswa menguasai bahan pelajaran secara tuntas, menyeluruh dan utuh.
3.         Dalam strategi ini, guru dan siswa diminta bekerja sama secara partisipatif dan persuatif, baik dalam proses belajar maupun dalam proses bimbingan terhadap siswa lainnya.
4. Penilaian yang dilakukan terhadap kemajuan belajar siswa mengandung unsur objektifitas yang tinggi sebab penilaian dilakukan oleh guru, rekan sekelas, dan diri sendiri akan berlangsung secara berlanjut serta berdasarkan ukuran keberhasilan (standar perilaku) yang jelas dan spesifik.
5.         Pada hakikatnya, strategi ini tidak mengenal siswa yang gagal belajar atau tidak naik kelas karena siswa yang ternyata mendapat hasil yang kurang memuaskan atau masih didalam target dan hasil yang diharapkan, terus menerus dibantu oleh rekannya dan guru.
6.         Pengajaran tuntas berdasarkan perencanaan yang sistematik, yang menduduki derajat koherensi yang tinggi dengan garis-garis besar program pengajaran bidang studi.
7.         Strategi ini menyediakan waktu belajar yang cukup sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing individu siswa sehingga memungkinkan mereka belajar secara kebih leluasa.
Strategi pengajaran tuntas juga mengandung beberapa kelemahan, antara lain:
1. Strategi ini sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan berbagai kegiatan yang berarti menuntut macam-macam kemampuan yang memadai.
2. Strategi ini sudah tentu memerlukan berbagai fasilitas, perlengkapan, alat, dana, dan waktu yang cukup besar, sedangkan sekolah-sekolah kita umumnya masih langka dalam segi sumber-sumber teknis seperti yang diharapkan.
3. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan cara-cara lama akan mengalami hambatan untuk menyelenggarakan strategi ini yang relatif lebih sulit dan masih baru.[13]










BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.      Pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
2.      Sistem belajar tuntas merupakan suatu pola pengajaran terstruktur yang bertujuan untuk mengadaptasikan pengajaran kepada kelompok siswa yang besar (pengajaran klasikal) sedemikian rupa, sehingga diberikan perhatian secukupnya pada perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara siswa, khususnya yang menyangkut laju kemajuan atau kecepatan dalam belajar (rate of progress).
3.      Indikator pelaksanaan pembelajaran tuntas terdiri dari metode pembelajaran, peran guru, peran peserta didik, dan evaluasi.
4.      Kelebihan dari pembelajaran tuntas : memungkinkan siswa belajar lebih aktif, berorientasi kepada peningkatan produktifitas hasil belajar, guru dan siswa diminta bekerja sama secara partisipatif dan persuatif, penilaian yang dilakukan terhadap kemajuan belajar siswa mengandung unsur objektifitas, tidak mengenal siswa yang gagal belajar atau tidak naik kelas, pengajaran tuntas berdasarkan perencanaan yang sistematik, menyediakan waktu belajar yang cukup sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.
Kekurangan dari pembelajaran tuntas : Sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan berbagai kegiatan, memerlukan berbagai fasilitas, guru-guru yang sudah terbiasa dengan cara-cara lama akan mengalami hambatan untuk menyelenggarakan strategi ini yang relatif lebih sulit dan masih baru.

DAFTAR PUSTAKA

Majid, Abdul. 2016. Strategi Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya
Mulyono. 2011. Strategi Pembelajaran. Malang : UIN Maliki Press
Ahmadi, Abu. Prasetya, Joko Tri. 1997. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia



[1] Abdul Majid, Strategi Pembelajaran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2016), 153.
[2] Mulyono, Strategi Pembelajaran, (Malang : UIN Maliki Press, 2011), 56-57
[3] Majid, Strategi Pembelajaran., 153
[4] Majid, Strategi Pembelajaran, 155-156
[5] Majid, Strategi Pembelajaran, 156-157
[6] Abu Ahmadi, Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung : Pustaka Setia, 1997),
[7] Majid, Strategi Pembelajaran, 158-159
[8] Majid, Strategi Pembelajaran, 166
[9] Mulyono, Strategi, 63
[10] Majid, Strategi Pembelajaran, 167
[11] Mulyono, Strategi Pembelajaran, 65
[12] Majid, Strategi Pembelajaran, 168-169
[13] Abu Ahmadi, Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), 165-166

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isim adad

BATAS AWAL DAN AKHIR PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK