ULUMUL HADIST



MAKALAH
ULUMUL HADIST


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah yang laksanakan di prodi BAHASA DAN SASTRA ARAB






Disusun:
AINUL YAQIN         (U20153014)



PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
SEPTEMBER 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam merupakan  agama yang berasal dari Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW yang merupkan agama yang berlaku sampai akhir zaman. Islam memiliki bermacam-macam sumber ajaran seperti Al-qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits dan ijtihad. Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan merupakan pedoman lengkap hidup manusia. Segala  sesuatu yang belum diketahui manusia, bisa diketahui oleh Al-qur’an. Kendati demikian, tidak semua masalah bisa di jawab oleh Al-qur’an secara tuntas , diperlukan sumber ajaran islam yang kedua yaitu Al-Hadits atau As-Sunnah.
Secara bahasa, Hadits bermakna jadid lawan dari qadim, yang bermakna “ yang baru “. Selain itu, Hadits berarti yang dekat, yang belum lama terjadi, seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil islam ( orang yang baru memeluk agama islam). Secara istilah, menurut Al-Hafidz, Hadits merupakan segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Rosulullah SAW.  Sedangkan menurut ahli ushul hadits, yang disebut hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan) Rosulullah SAW. Yang berhubungan dengan masalah hukum. Suatu usaha untuk menyelesaikan masalah yang tidak dibahas  oleh al-qur’an dan al-hadits,tetapi melalui akal pikiran yang sehat dan pertimbangan yang matang serta tidak bertentangan dengan al-qur’an dan al-hadits disebut  Ijtihad.
Berdasarkan penjelasan diatas, makalah ini kami buat. Makalah ini  tidak membahas masalah Al-Qur’an  dan Ijtihad melainkan  membahas tentang  “ Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam “. Yang terdiri dari kedudukan, dalil-dalil dan fungsi hadits.




B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana kedudukan hadist sebagai sumber ajaran islam?
2.   Bagaimana bunyi dalil-dalil kehujahan hadist?
3.   Apa fungsi-fungsi Hadist sebagai sumber ajaran Islam?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam
2.    Untuk mengetahui dalil-dalil kehujahan hadist
3.    Untuk mengetahui fungsi-fungsi Hadist sebagai sumber ajaran Islam






BAB II
PEMBAHASAN
1.  Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa Hadist merupaka salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti Hadist bagi umat Islam sama wajibnya denga mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena Hadist merupakan  mubayyin terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai hadist, siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapa pun tidak akan bisa memahami hadist tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadist merupakan dasar hukum kedua, yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian, antara hadis dan Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan  hal tersebut, kedudukan hadist dalam Islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam hadist Nabi Muhammad SAW.[1]

2.  Dalil-Dalil Kehujahan Hadis
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan sunnah dijadikan sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut.[2]
a.    Dalil Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang perintah patuh kepada Rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujah, antara lain:
1)   Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Surah Ali ‘Imran (3): 179
فَأَ مِنُوْا بِا للهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْ مِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَلَكُمْ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepada umatnya baik Al-Qur’an maupun hadist yang dibawanya.
2)   Perintah beriman kepada Rasul dibrengkan dengan beriman kepada Allah SWT, sebagaimana dalam Surah An-Nisa’ (4): 136
يَاأَيّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْامِنُوْا بِاللهِ وَرُسُوْلِهِ وَالْكِتَبِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَبِ الَّذِى اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
3)   Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah, sebagaimana dalam Surah An-Nisa’ (4): 64
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلَّا لِيُطَا عَ بِإِ ذْ نِ اللهِ
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.[3]
4)   Perintah taat kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah, sebagaimana dalam Surah Ali ‘Imran (3): 32
قُلْ اَطِيْعُوْ االلهَ وَالرَّسُوْلَ فَاِنْ تَوَ لَّوْا فَإِ نَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ
Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.
5)   Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana dalam Surah Al-Hasyr (59): 7
وَمَاا تَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُ وهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimakanlah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
Beberapa ayat di atas secara eksplisit perintah taat kepada Allah dan mengikuti Rasul SAW manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnah-Nya. Di antara ayat tersebut menjelaskan perintah iman dan taat kepada Allah, menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan perintah-perintah Al-Qur’an dan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada Rasul berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang disebutkan  dalam sunnah dan Alquran. Perintah kembali kepada Allah berarti kembali kepada Alquran sedang kembali kepada Rasul berarti kembali kepada sunnah baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya. Lebih terperincih  Al- Qurthubi menjelaskan bahwa kembali kepada Allah  dan Rasul- Nya dengan bertannya pada masa hidupnya dan mempelajari sunnah setelah wafatnya. Demikian juga pendapat Mujahid, Al- Amasy, dan Qatadah.[4]
b.    Dalil Hadist
Hadist yang dijadikan dalil kehujahan Sunnah juga banyak sekali,  diantarannya sebagaimana sabda Nabi
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتا ب الله وسنتي
Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduannya yaitu kitab Allah dan sunnahku. ( HR. Al- Hakim)
Hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat selamanya apabila hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Alquran dan sunnah. Orang yang tidak berpegang teguh pada keduannya atau tidak mengikuti sunnah berarti sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan kepadannya untuk melaksanakan perintah itu.
Kehujanan sunnah sebagai konsekuensi ke- ma’shum-an  ( terpelihara) Nabi  dari sifat sombong dari segala apa yang beliau sampaikan baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Kebenaran al-quran sebagai mukjizat disampaikan oleh sunnah. Demikian juga kebenaran pemahaman al-quran juga diselesaiakn oleh sunah  dalam praktik oleh beliau. Oleh karena itu, jika sunah tidak bisa dijadikan hujah, al-quran yang sebagai efek produknya akan dipertanyakan kehujahannya.
c.    Ijma’ Para Ulama
Para ulama telah sepakat (konsekuensi) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dalam hukum Islam setelah Al-Qur’an. Asy-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: “Aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah SWT untuk mengikuti Rasul SAW dan berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan Kitab Allah atas sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya kita, orang0orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul SAW. Tidak ada seorang pun yang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah SAW.[5]
Demikian juga ulama lain, seperti As-Suyuti (w.911 H) berpendapat bahwa orang yang mengingkari kehujahan hadis Nabi baik perkataan dan perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam Ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nasrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang-orang kafir. Asy-Syaukani (w.1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hukum Islam seperti Al-Quran dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam. Para ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah Al-Quran. Fuqaha sahabat selalu bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan Al-Quran dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam Al-Quran.
Dari berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut:[6]
a.    Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
b.    Kehujahan sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Al-Quran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh Al-Quran.
c.    Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik dari ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
d.   Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.[7]

3.   Fungsi-fungsi Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam
Sunnah sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur’an. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Qur’an sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Qur’an. Al-Qur’an mengandung segala permasalahan secara paripurna dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah yang tertinggal. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-An’am (6): 38:
مَا فرطنا في الكتا ب من شي ء
“Tidak ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab”.
Keterangan al-Qur’an sangat sempurna tidak meninggalkan sesuatu, tetapi penjelasannya secara global maka perlu diterangkan secara rinci dari sunnah.
Ada tiga fungsi Hadist sebagai sumber hukum Islam dalam pandangan ahli-ahli usul, sebagaimana dijelaskan Muhammad ‘Ajjad al-Khatib:[8]
1)      Assunnah berfungsi mendukung atau menegaskan suatu ketentuan yang dibawa al-Qur’an. Dalam hal ini, Assunnah tidak menambahkan apa yang telah ditetapkan al-Qur’an. Akan tetapi fungsinya adalah memperkuat, namun  bukan berarti ayat-ayat al-Qur’an tidak kuat, melainkan pengulangan penegasan kembali oleh Rasulullah SAW. Terhadap masalah-masalah yang ada dalam al-Qur’an. Oleh  karena itu, hadis atau sunnah sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim.
2)      Assunnah berfungsi memperjelas atau merinci (menafsirkan) apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an.
Hadis dalam fungsi ini  terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[9]
a.       Menjelaskan ayat-ayat mujmal
Hadis dalam fungsi ini diantaranya ialah hadis yang menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi prakteknya, syarat, waktu, dan tatacaranya, seperti masalah shalat dimana didalam al-Qur’an tidak disebutkan secra rinci tentang bilangan rakaat, waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi, semua itu dijelaskan oleh Hadis.
b.      Membatasi lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an
Hadis yang membatasi kemutlakan lafadz dari ayat al-Qur’an ini ialah seperti hadis-hadis yang menejelaskan tentang lafadz al-Yad (tangan) yang terdapat dalam ayat al-Qur’an:
وَالسَّا رِ قُ وَالسَّرِفَةُ فَاقْطَعُوْاأَيْدِ يَهُمَا
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya,” (QS. Al-Maidah: 38).
Bahwa yang dimaksud memotong tangan dalam ayat tersebut adalah tangna kana dan pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan, tidak sampai siku.
c.       Mengkhususkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum
Hadis dalam kategori ini adalah seperti hadis yang mengkhususkan makna zalim dalam firman Allah SWT:
الدُّنْيَا اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا اِيْمَا نَهُمْ بِظُلْمٍ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-aduk-kan iman mereka dengan kezaliman,” (QS. Al-An’am:82).
Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Tuhan. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap, “Siapakah diantara kita yang tidak zalim? Kemudian, Nabi SAW menjawab, “Bukan itu yang dimaksud, tapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah menyekutukan Tuhan (syirik).”[10]
d.      Menjelaskan makna lafadz yang masih kabur
Diantaranya ialah seperti hadis yang menjelaskan makna dua lafadz “al-Khaitu”
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الاَبْيَضُ مِنَالْخَيطِ الاَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ
“Dan  makan minumlah kamu hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam. Yaitu fajar,” (QS. Al-Baqarah:187).
Peristiwanya ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud benang dalam ayat itu ialah tali yang berwarna hitam dan putih. Kemudian, Nabi saw bersabda, bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.[11]

3)      Assunnah berfungsi menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
Undang-undang dan peraturan-peraturan untuk hidup manusia secara garis besar ditetapkan di dalam al-Qur’an. Wahyu terakhir yang diterima Rasulullah SAW. Menunujukkan hal tersebut. Allah berfirman dalam surat al-Maidat ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Kesempurnaan ajaran Islam, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, menunjukkan bahwa secara garis besar segala masalah keagamaan sudah diungkapkan di dalam al-Qur’an. Meskipun demikian, dalam prakitknya, Rasulullah SAW. Pernah menetapkan hukum yang belum ada ketetapan hukumnya secara ekspilisit di dalam al-Qur’an. Penetapan hukum yang disinggung oleh al-Qur’an tersebut tidaklah dilarang, juga tidak berarti Assunnah sederajat dengan al-Qur’an.
Contoh-contoh hukum yang ditetapkan oleh Assunnah antara lain adalah ketentuan tentang haramnya memakan daging himar ahliah (lokal), memakan daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki mengawani dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Masalah ini dijelaskan oleh sunnah, sedangkan al-Qur’an tidak membicarakan.[12]
4)      Assunnah berfungsi menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an
Sebagian ulama ada yang membolehkan sunnah menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an, diantaranya ialah seperti hadis:
لَا وَ صِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris.”
Hadis tersebut menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabat-kerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah SWT:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ المَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرَ الوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالاَقْرَبِيْنَ بِالمَعْرُوفِ حَقًّا عَلىَ المُتَّقِيْنَ
“Diawajibkan atas kamu , apabila seorang diantara kamu kedatangan ( tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf  (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa,” (QS.al-Baqarah:180).[13]



BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan



DAFTAR PUSTAKA
Solahudin, M.Agus. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Belajar.



[1] M.Agus Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 73
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), h. 27
[3] Ibid., 27
[4] Ibid., 28
[5] Ibid., 29
[6] Ibid., 30
[7] Ibid., 31
[8] Muhammad Alim, pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,2006), h. 190
[9] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), h. 10
[10] Ibid,. 11
[11] Ibid,. 12
[12] Alim, pendidikan agama islam, h.191
[13] al-maliki, ilmu ushul hadis, h. 13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isim adad

BATAS AWAL DAN AKHIR PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK