ULUMUL HADIST
MAKALAH
ULUMUL
HADIST
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah yang laksanakan di prodi BAHASA DAN SASTRA
ARAB
Disusun:
AINUL
YAQIN (U20153014)
PRODI BAHASA
DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USULUDDIN
ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang
berasal dari Allah SWT yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW yang merupkan
agama yang berlaku sampai akhir zaman. Islam memiliki bermacam-macam sumber
ajaran seperti Al-qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits dan ijtihad. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum yang pertama dan merupakan pedoman lengkap hidup
manusia. Segala sesuatu yang belum
diketahui manusia, bisa diketahui oleh Al-qur’an. Kendati demikian, tidak semua
masalah bisa di jawab oleh Al-qur’an secara tuntas , diperlukan sumber ajaran
islam yang kedua yaitu Al-Hadits atau As-Sunnah.
Secara bahasa, Hadits bermakna jadid lawan dari qadim, yang
bermakna “ yang baru “. Selain itu, Hadits berarti yang dekat, yang belum lama
terjadi, seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil islam ( orang yang baru
memeluk agama islam). Secara istilah, menurut Al-Hafidz, Hadits merupakan
segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Rosulullah SAW. Sedangkan menurut ahli ushul hadits, yang
disebut hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir (persetujuan)
Rosulullah SAW. Yang berhubungan dengan masalah hukum. Suatu usaha untuk
menyelesaikan masalah yang tidak dibahas
oleh al-qur’an dan al-hadits,tetapi melalui akal pikiran yang sehat dan
pertimbangan yang matang serta tidak bertentangan dengan al-qur’an dan
al-hadits disebut Ijtihad.
Berdasarkan penjelasan diatas, makalah ini kami buat. Makalah
ini tidak membahas masalah
Al-Qur’an dan Ijtihad melainkan membahas tentang “ Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam “. Yang
terdiri dari kedudukan, dalil-dalil dan fungsi hadits.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kedudukan hadist sebagai sumber ajaran islam?
2.
Bagaimana
bunyi dalil-dalil kehujahan hadist?
3.
Apa
fungsi-fungsi Hadist sebagai sumber ajaran Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui kedudukan Hadist sebagai sumber ajaran Islam
2.
Untuk
mengetahui dalil-dalil kehujahan hadist
3.
Untuk
mengetahui fungsi-fungsi Hadist sebagai sumber ajaran Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hadist
Sebagai Sumber Ajaran Islam
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa Hadist
merupaka salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat
penting setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti Hadist bagi umat Islam sama
wajibnya denga mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena Hadist merupakan mubayyin terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami
dan menguasai hadist, siapa pun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya,
siapa pun tidak akan bisa memahami hadist tanpa memahami Al-Qur’an karena
Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar
syariat, dan hadist merupakan dasar hukum kedua, yang di dalamnya berisi
penjabaran dan penjelasan Al-Qur’an. Dengan demikian, antara hadis dan
Al-Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Berdasarkan hal tersebut,
kedudukan hadist dalam Islam tidak dapat diragukan karena terdapat penegasan
yang banyak, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam hadist Nabi Muhammad SAW.[1]
2.
Dalil-Dalil
Kehujahan Hadis
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan sunnah dijadikan
sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut.[2]
a.
Dalil
Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang perintah patuh kepada Rasul
dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti
sunnah sebagai hujah, antara lain:
1)
Konsekuensi
iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Surah
Ali ‘Imran (3): 179
فَأَ مِنُوْا بِا للهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْ مِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَلَكُمْ
اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Karena
itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan
bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
Beriman
kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepada umatnya baik
Al-Qur’an maupun hadist yang dibawanya.
2)
Perintah
beriman kepada Rasul dibrengkan dengan beriman kepada Allah SWT, sebagaimana
dalam Surah An-Nisa’ (4): 136
يَاأَيّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْامِنُوْا بِاللهِ وَرُسُوْلِهِ وَالْكِتَبِ
الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُوْلِهِ وَالْكِتَبِ الَّذِى اَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya.
3)
Kewajiban
taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah, sebagaimana dalam Surah
An-Nisa’ (4): 64
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ إِلَّا لِيُطَا عَ بِإِ ذْ نِ اللهِ
Dan
kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah.[3]
4)
Perintah
taat kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah, sebagaimana dalam Surah
Ali ‘Imran (3): 32
قُلْ اَطِيْعُوْ االلهَ وَالرَّسُوْلَ فَاِنْ تَوَ لَّوْا فَإِ نَّ
اللهَ لَا يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ
Katakanlah:
Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.
5)
Perintah
taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana dalam Surah Al-Hasyr (59): 7
وَمَاا تَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُ وهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَا نْتَهُوا
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimakanlah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.
Beberapa ayat di atas secara eksplisit perintah taat kepada Allah
dan mengikuti Rasul SAW manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa
mengetahui sunnah-Nya. Di antara ayat tersebut menjelaskan perintah iman dan
taat kepada Allah, menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan
perintah-perintah Al-Qur’an dan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada
Rasul berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang
disebutkan dalam sunnah dan Alquran.
Perintah kembali kepada Allah berarti kembali kepada Alquran sedang kembali
kepada Rasul berarti kembali kepada sunnah baik ketika masih hidup maupun
setelah wafatnya. Lebih terperincih Al-
Qurthubi menjelaskan bahwa kembali kepada Allah
dan Rasul- Nya dengan bertannya pada masa hidupnya dan mempelajari
sunnah setelah wafatnya. Demikian juga pendapat Mujahid, Al- Amasy, dan Qatadah.[4]
b.
Dalil
Hadist
Hadist yang dijadikan dalil kehujahan Sunnah juga banyak sekali, diantarannya sebagaimana sabda Nabi
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتا ب الله وسنتي
Aku
tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang
teguh kepada keduannya yaitu kitab Allah dan sunnahku. ( HR. Al- Hakim)
Hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat selamanya
apabila hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Alquran dan sunnah. Orang
yang tidak berpegang teguh pada keduannya atau tidak mengikuti sunnah berarti
sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintah Allah dan
siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang memerintahkan
kepadannya untuk melaksanakan perintah itu.
Kehujanan sunnah sebagai konsekuensi ke- ma’shum-an ( terpelihara) Nabi dari sifat sombong dari segala apa yang
beliau sampaikan baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Kebenaran
al-quran sebagai mukjizat disampaikan oleh sunnah. Demikian juga kebenaran
pemahaman al-quran juga diselesaiakn oleh sunah
dalam praktik oleh beliau. Oleh karena itu, jika sunah tidak bisa
dijadikan hujah, al-quran yang sebagai efek produknya akan dipertanyakan
kehujahannya.
c.
Ijma’
Para Ulama
Para ulama telah sepakat (konsekuensi) bahwa sunnah sebagai salah
satu hujah dalam hukum Islam setelah Al-Qur’an. Asy-Syafi’i (w. 204 H)
mengatakan: “Aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri
sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah SWT untuk mengikuti
Rasul SAW dan berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang
setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi
kecuali berdasarkan Kitab Allah atas sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua
dasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya kita, orang0orang sebelum dan
sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul SAW. Tidak ada seorang pun yang
berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah
SAW.[5]
Demikian juga ulama lain, seperti As-Suyuti (w.911 H) berpendapat
bahwa orang yang mengingkari kehujahan hadis Nabi baik perkataan dan
perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang jelas dalam Ilmu Ushul adalah
kafir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang Yahudi dan Nasrani atau
bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang-orang kafir.
Asy-Syaukani (w.1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujahan sunnah
secara mandiri sebagai sumber hukum Islam seperti Al-Quran dalam menghalalkan
yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai
sumber hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang
menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam. Para ulama dahulu dan
sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah Al-Quran. Fuqaha
sahabat selalu bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan Al-Quran dan dalam
ber-istinbath hukum yang tidak didapati dalam Al-Quran.
Dari berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa
sebagai berikut:[6]
a.
Para
ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan
mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
b.
Kehujahan
sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Al-Quran atau berdiri
sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh
Al-Quran.
c.
Kehujahan
sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik dari ayat-ayat
Al-Qur’an atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya
dihukumi murtad.
d.
Sunnah
yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih,
baik mutawatir atau ahad.[7]
3.
Fungsi-fungsi Hadist Sebagai Sumber Ajaran
Islam
Sunnah sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur’an. Tentunya
pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks
Al-Qur’an sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang
dibangun karenanya. Dengan demikian, segala uraian dalam sunnah berasal dari
Al-Qur’an. Al-Qur’an mengandung segala permasalahan secara paripurna dan
lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu
masalah yang tertinggal. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-An’am (6):
38:
مَا فرطنا في الكتا ب من شي ء
“Tidak
ada sesuatu yang Kami tinggalkan dalam Al-Kitab”.
Keterangan
al-Qur’an sangat sempurna tidak meninggalkan sesuatu, tetapi penjelasannya
secara global maka perlu diterangkan secara rinci dari sunnah.
Ada tiga fungsi Hadist sebagai
sumber hukum Islam dalam pandangan ahli-ahli usul, sebagaimana dijelaskan
Muhammad ‘Ajjad al-Khatib:[8]
1)
Assunnah
berfungsi mendukung atau menegaskan suatu ketentuan yang dibawa al-Qur’an.
Dalam hal ini, Assunnah tidak menambahkan apa yang telah ditetapkan al-Qur’an.
Akan tetapi fungsinya adalah memperkuat, namun
bukan berarti ayat-ayat al-Qur’an tidak kuat, melainkan pengulangan penegasan
kembali oleh Rasulullah SAW. Terhadap masalah-masalah yang ada dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu, hadis atau sunnah
sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh
setiap muslim.
2)
Assunnah
berfungsi memperjelas atau merinci (menafsirkan) apa yang telah digariskan
dalam al-Qur’an.
Hadis
dalam fungsi ini terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu:[9]
a.
Menjelaskan
ayat-ayat mujmal
Hadis dalam fungsi ini diantaranya ialah hadis yang menjelaskan
segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi
prakteknya, syarat, waktu, dan tatacaranya, seperti masalah shalat dimana
didalam al-Qur’an tidak disebutkan secra rinci tentang bilangan rakaat, waktu,
rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi, semua itu dijelaskan oleh Hadis.
b.
Membatasi
lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat al-Qur’an
Hadis yang membatasi kemutlakan lafadz dari ayat al-Qur’an ini
ialah seperti hadis-hadis yang menejelaskan tentang lafadz al-Yad (tangan) yang
terdapat dalam ayat al-Qur’an:
وَالسَّا رِ قُ وَالسَّرِفَةُ فَاقْطَعُوْاأَيْدِ يَهُمَا
“laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya,” (QS.
Al-Maidah: 38).
Bahwa yang dimaksud memotong tangan dalam ayat tersebut adalah
tangna kana dan pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan, tidak sampai
siku.
c.
Mengkhususkan
ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum
Hadis dalam kategori ini adalah seperti hadis yang mengkhususkan
makna zalim dalam firman Allah SWT:
الدُّنْيَا اَمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا اِيْمَا نَهُمْ بِظُلْمٍ
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur-aduk-kan iman mereka dengan kezaliman,” (QS.
Al-An’am:82).
Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan
Tuhan. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira
bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum,
sehingga dia berucap, “Siapakah diantara kita yang tidak zalim?
Kemudian, Nabi SAW menjawab, “Bukan itu yang dimaksud, tapi yang dimaksud
zalim pada ayat itu ialah menyekutukan Tuhan (syirik).”[10]
d.
Menjelaskan
makna lafadz yang masih kabur
Diantaranya ialah seperti hadis yang menjelaskan makna dua lafadz
“al-Khaitu”
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ
الاَبْيَضُ مِنَالْخَيطِ الاَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ
“Dan
makan minumlah
kamu hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam. Yaitu fajar,” (QS.
Al-Baqarah:187).
Peristiwanya
ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud benang dalam ayat
itu ialah tali yang berwarna hitam dan putih. Kemudian, Nabi saw bersabda,
bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.[11]
3)
Assunnah
berfungsi menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an.
Undang-undang dan peraturan-peraturan untuk hidup manusia secara
garis besar ditetapkan di dalam al-Qur’an. Wahyu terakhir yang diterima
Rasulullah SAW. Menunujukkan hal tersebut. Allah berfirman dalam surat
al-Maidat ayat 3: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu”.
Kesempurnaan ajaran Islam, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di
atas, menunjukkan bahwa secara garis besar segala masalah keagamaan sudah
diungkapkan di dalam al-Qur’an. Meskipun demikian, dalam prakitknya, Rasulullah
SAW. Pernah menetapkan hukum yang belum ada ketetapan hukumnya secara
ekspilisit di dalam al-Qur’an. Penetapan hukum yang disinggung oleh al-Qur’an
tersebut tidaklah dilarang, juga tidak berarti Assunnah sederajat dengan
al-Qur’an.
Contoh-contoh hukum yang ditetapkan oleh Assunnah antara lain
adalah ketentuan tentang haramnya memakan daging himar ahliah (lokal), memakan
daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki mengawani dua orang
wanita yang bersaudara sekaligus. Masalah ini dijelaskan oleh sunnah, sedangkan
al-Qur’an tidak membicarakan.[12]
4)
Assunnah
berfungsi menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an
Sebagian ulama ada yang membolehkan sunnah menghapus ketentuan
hukum dalam al-Qur’an, diantaranya ialah seperti hadis:
لَا وَ صِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Tidak boleh
berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris.”
Hadis tersebut menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an tentang
diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau
kerabat-kerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah SWT:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ المَوْتُ اِنْ تَرَكَ
خَيْرَ الوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالاَقْرَبِيْنَ بِالمَعْرُوفِ حَقًّا عَلىَ
المُتَّقِيْنَ
“Diawajibkan
atas kamu , apabila seorang diantara kamu kedatangan ( tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa,” (QS.al-Baqarah:180).[13]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin,
M.Agus. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon,
Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
[1] M.Agus
Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 73
[2] Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), h. 27
[3] Ibid., 27
[4] Ibid., 28
[5] Ibid., 29
[6] Ibid.,
30
[7] Ibid.,
31
[8] Muhammad
Alim, pendidikan Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,2006), h. 190
[9] Muhammad
Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), h. 10
[10] Ibid,.
11
[11] Ibid,.
12
[12] Alim,
pendidikan agama islam, h.191
[13]
al-maliki, ilmu ushul hadis, h. 13
Komentar
Posting Komentar