FILSAFAT
FILSAFAT
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat
Disusun:
AINUL
YAQIN (U20153014)
PRODI BAHASA
DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USULUDDIN
ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“There is No
Perfectness in the World”, barangkali ungkapan ini tepat dan perlu dihadirkan
dan direfleksikan di sini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikir filsafat
mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan
kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di lain sisi. Proses
dialektika, meminjam istilahnya Hege, antara tesis antitesis dan sintesis
sering kita jumpai dalam khazanah pemikiran filsafat. Filsafat modern yang konon
katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya hingga akhirnya
muncul pemikiran baru yang disebut pemikiran filsafat kontemporer.
Dalam kenyataan
sejarah filsafat Barat mengalami pengalaman buruk tatkala hanya mengikuti rasio
dan menghindari instusi. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan
rasio atau munculnya perenilisme merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan
rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir
tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah dan indra saja.
Bertolak
belakang dari pemikiran di atas, maka selanjutnya pengkajian pemikiran filsafat
kontemporer bisa dimulai dengan memahami aliran – aliran dan tokoh – tokohnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah munculnya filsafat kontemporer
?
2.
Apa saja aliran – aliran pada masa filsafat
kontemporer ?
3.
Siapakah tokoh – tokoh dan isi pemikiran pada masa filsafat kontemporer ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui sejarah munculnya filsafat
kontemporer
2.
Mengetahui aliran – aliran pada masa filsafat
kontemporer
3.
Mengetahui tokoh – tokoh dan isi pemikiran pada masa fisafat kontemporer
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Kelahiran Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad
ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya.
Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik
social, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup
(Eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai filsafat tentang perempuan
(Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf dari
periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan,
kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan
isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi,
teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh
profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya
professional di bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk
komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional dibidang-bidang tertentu
berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing.
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer
antara lain adalah: Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938),
Henri Bergson (1858-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell
(1872-1970) dll.
2.2
Aliran – Aliran Filsafat Kontemporer
2.2.1 Aliran Pragmatisme
Pragmatisme
berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika
segala sesuatu yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan.
Pragmatisme
kata Edward C. Moore adalah suatu aliran filsafat yang ditemukan oleh Charles
s. Pierce dari Amerika Serikat. Ajaran pierce bangkit dari tulisannya berjudul
“How to Make Out Ideas Clear”. Buku ini telah ditulis pada 1878, tetapi tidak
banyak menarik perhatian publik. Barulah ketika William James tampil dengan
bukunya berjudul “Pragmatism” pada tahun 1907, kemudian diikuti tulisan John
Dewey pada tahun 1925 dengan bukunya Experience and Nature”, maka pikiran
Pierce tampak berkembang.
Pragmatisme
adalah adalah ajaran mengenai pengertian, a theory of meaning. Ajaran mengenai
pengertian, secara pragmatik didefinisikan sebagai berikut :
“Jika saya
bertindak terhadap objek A,
Tindakan itu
dilakukan oleh cara X,
Maka panca
indera saya akan mengalami Y.”
Jika kita terapkan definisi di atas,
dengan menyebut objek A dalam bentuk istilah atau nama, katakanlah “pohon”.
Maka rumus itu akan menjadi :
“Jika saya menjamah batang pohon,
maka saya akan merasakan sesuatu yang kasar “atau” keras”
Andai kata peristiwa terjadi musim
panas :
“Jika saya berdiri di bawah pohon,
maka saya akan merasakan keteduhan”.
Maka pragmatisme merupakan ajaran
tentang pengertian, ialah pengertian suatu istilah yang terjadi oleh karena
sikap dan pengalaman.
Hal yang paling
mendasar dari pembahasan aliran pragmatisme ini adalah bahwa filsafat ini
dimaknai sebagai alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari – hari dan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik (praktis).
Dengan kata lain, pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting, bukan
pendapat atau teori. Yang pokok adalah manusia berbuat dan berpikir. Filsafat
pragmatisme penting diterapkan di Indonesia, apalagi kita sedang hangat –
hangatnya melaksanakan pembangunan nasional jangka panjang.
Di atas tadi
telah kita sebut nama – nama pelopor – pelopor pragmatisme, ialah tiga orang
tokoh yang masih perlu kita bedakan dalam bidang – bidang yang diutarakan.
Morton white menyebut Pierce sebagai filsuf pragmatik di bidang ilmu
pengetahuan, William James mengenai bidang keagamaan dan John Dewey adalah
filsuf pragmatik dalam bidang moral.
1.
Charles
Sanders Pierce
Pierce lahir pada tahun 1839 di Cambridge, massachusetts, yaitu
anak seorang ahli matematika terkenal bernama benyamin Pierce. Kehidupan Pierce
merupakan suatu kisah yang sangat menyedihkan. Ia menghadapi kesulitan
keuangan, menemui kegagalan perkawinan, kesulitan jabatan dan berbagai rencana
yang gagal, Ia tidak pernah menerima penghargaan akademis dan ia meninggal
tanpa suatu sebutan keistimewaannya dalam bidang filsafat.
Filsafat Pierce dikenal dengan sebutan pragmatisme, yang berarti
menunjukkan sesuatu yang praktis dan realitas, pengujian ide – ide bekerja
dalam merealisasikan tujuan dengan maksud, untuk membuka pandangan pikiran dan
fleksibilitas dan tidak melakukan kefanatikan serta cara dogmatik, memastikan
prinsip – prinsip pasti, dan menilai kepercayaan atau ide ide dengan tingkat
yang membuat mereka sukses.
Pragmatisme adalah suatu paham filosofis secara umum dimulai sejak
akhir abad ke – 19 oleh Pierce dengan maksim pragmatis (pragmatic maxim).
Kemudian pada abad ke – 20 baru dikembangkan lebih lanjut oleh filosof filosof pragmatis,
seperti William James dan John Dewey. Seorang filosof pragmatis selalu
mempertimbangkan konsekuensi – konsekuensi praktis (practical consequences)
atau efek – efek nyata (Real Effesct) dari dua komponen, yaitu meaning
dan truth.
Pierce membagi kebenaran menjadi dua bagian, pertama Kebenaran
transendental (transcedental truth), yaitu kebenaran yang menetap pada
benda itu sendiri, kedua, kebenaran kompleks (complex truth), yaitu
kebenaran dalam pertanyaan – pertanyaan. Kebenaran kompleks ini dibagi menjadi dua
hal yakni, kebenaran etis bahwa seluruh pernyataan dengan siapa yang diimani
oleh si pembicara. Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan
dengan realitas yang di definisikan. Pandangan Pierce tentang kebenaran adalah
memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan. Pertama, adanya proporsi,
kedua, adanya penilaian, dan yang ketiga, adanya kebiasaan dalam berpikir.
Sedangkan gagasan Pierce tentang keyakinan dan pencarian keyakinan
yang benar, ia mengemukakan dua tipologi, yakni: fixation of elief, usaha untuk
meneguhkan keyakinan yang telah dimiliki agar bisa survive, dan clarification
of idea yang mencakup metafisika, etika dan logika. Sehingga Pierce
mengembangkan dalam bidang logika yang digagasnya dalam teori baru the new
logic (cara berpikir baru) dan the logic of inquiry (logika penelitian). Bagi
Pierce logic tidak statis tapi bersifat dinamis, sehingga dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, apa yang tampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, apa yang tampak sebagai fenomena dibaca dan
dicerna dengan pembacaan yang kritis dan produktif (al-qira’ah al-naqdiyyah
al-mutijah), bukan malah sebaliknya, membaca apa adanya dan “takluk” terhadap
cara pembacaan model warisan para pendahulunya. Pembacaan model terakhir ini,
tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan dan
umat, melainkan taklid dan mengulang – ulang apa yang mejadi mainstream
(al-qira’ah al taqlidiyah al mutakarrirah).
Sehingga pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan
dalam pikiran (habit of mind). Berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan
membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, pierce
kemudian membedakan antara keraguan dan keyakinan. Orang yang yakin pasti
berbeda dengan orang yang ragu minimal dari dua hal, yakni, feeling and
behaviour. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman, dan akan berupaya untuk
menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.
2.
William
James
William James adalah seorang psikolog, namun ia menjadi penting
dalam filsafat disebabkan oleh dua faktor : pertama, ia menemukan doktrin yang
disebutnya dengan “empirisme radikal” dan kedua, ia merupakan salah satu dari
tiga orang tokoh utama suatu teori yang disebut dengan “pragmatisme” atau
“instrumentalisme”. James mengembangkan filsafat manusia berbasis psikologi
filsafati, ia menyebut psikologi sebagai natural science yang mempelajari
kehidupan mental dengan menghubungkan jiwa dengan perasaan badan.
Dengan demikian, William James mengajarkan bahwa ukuran kebenaran
sesuatu ditentukan oleh akibatnya yang praktis. Sesuatu pengertian tidak pernah
benar, namun ia hanya bisa menjadi benar. Ukuran kebenaran menurut James adalah
seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas. Kebenaran
mutlak yang lepas dari akal tidak ada, karena semua berjalan terus dan berubah
– ubah, yang ada hanya kebenaran khusus dalam pengalaman yang khusus pula.
Lebih lanjut William James menegaskan, bahwa pragmatisme memiliki
karakteristik, sebagai berikut.
a.
Berapa
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mementingkan hasil. Pragmatisme adalah
gagasan yang mementingkan tindakan dan hasil dari tindakan yang dapat diraih.
b.
Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang demokratis, yaitu paham yang menganggap bahwa semua
orang adalah filosof. Pandangan ini bertentangan dengan pendapat sebelumnya
yang menggangungkan pendapat – pendapat filosof
besar yang selalu dijadikan parameter kebenaran.
c.
Pragmatisme
adalah filsafat yang bersifat individual, maksudnya kebenaran bersifat pribadi.
Kebenaran tidak bersifat mutlak karena proses pencarian kebenaran yang
dilakukan masing – masing orang berada sehingga hasilnya pun tertentu berbeda
pula.
d.
Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang humanistik dan optimis, dalam arti aliran
pragmatisme menempatkan manusia sebagai pihak yang menentukan kebenaran. Setiap
individu memiliki pengaruh dalam peristiwa – peristiwa yang terjadi di
lingkungannya. Oleh karena itu, nasib masing – masing individu terletak di
tangannya sendiri.
e.
Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang spekulatif. Kebenaran itu bersifat relatif.
Tergantung pada pengalaman atau proses pembuktian yang dilakukan oleh seseorang
terhadap kebenaran tersebut. Sesungguhnya tidak ada kebenaran yang bersifat
umum dan mutlak. Kebenaran itu selalu berubah karena suatu kebenaran akan
dikoreksi oleh kebenaran yang muncul kemudian.
3.
John
Dewey
John Dewey adalah tokoh yang paling terkenal dari aliran
pragmatisme Amerika modern. Ia menyebut filsafatnya dengan nama
“instrumentalisme”. Instrumentalisme adalah usaha untuk menyusun teori yang
logis dan tepat dari konsep – konsep, pertimbangan – pertimbangan, penyimpulan
– penyimpulan dalam bentuk bermacam – macam. Ia menegaskan bahwa mengetahui
merupakan alat atau instrument untuk menangani situasi tertentu. Seperti halnya
William James , maka Dewey menyatakan bahwa pikiran adalah instrument untuk
mewujudkan tujuan.
Filsafat menurut Dewey adalah upaya untuk menyelidiki bagaimana
pikiran berfungsi dalam penentuan – penentuan yang berdasarkan pengalaman,
terutama mengenai konsekuensi – konsekuensinya di masa depan. Kenyataan selalu
berubah, tumbuh dan berkembang di dalam benda – benda. Sementara manusia terus
– menerus mengubah gagasan – gagasannya sampai gagasan – gagasan itu bekerja
atau berlaku. Maka bagi Dewey, yang penting bukan benar atau tidaknya
pengetahuan, melainkan sejauh mana pengetahuan dapat memecahkan masalah –
masalah yang muncul di dalam masyarakat dan dalam kenyataan hidup.
Dewey mengkritik pandangan tradisional tentang “kebenaran ” yang
bersifat statis dan final, sempurna dan abadi. Menurutnya pengetahuan manusia
sebagai suatu keseluruhan yang organik, yang secara bertahap tumbuh dalam
setian bagian apa pun sampai sampai keseluruhan tersebut sempurna. Oleh karena
itu bagi Dewey, semua realitas adalah sementara dan selalu dalam proses menjadi
dan bersifat evolutif.
Kebenaran bagi Dewey didefinisikan sebagai penyelidikan.
Penyelidikan adalah transformasi terkontrol dan terarah dari situasi yang tidak
menentu menjadi situasi yang menentu. Penyelidikan berkaitan dengan transformasi
pokok persoalan secara objektif. Oleh karena itu, kebenaran adalah opini yang
disepakati oleh semua orang yang menyelidikinya. Pragmatisme sebagai aliran
filsafat, meskipun saat ini tidak lagi begitu popular, namun dalam kenyataan
sehari – hari prinsip – prinsip kemanfaatan atau kegunaannya sangat
mempengaruhi pola pikir manusia kontemporer. Pada era teknologi maju saat ini,
hampir seluruh sendi kehidupan manusia di pengaruhi oleh pola berpikir
pragmatisme.
2.2.2 Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme
merupakan suatu pandangan hidup yang berkembang di Perancis dan Jerman lalu
mengembang ke wilayah berbahasa Inggris. Setelah perang dunia kedua, ajaran itu
tampak berkembang dengan pesat.
Eksistensialisme
berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”.
Kata “exist” adalah bahasa Latin yang artinya: “ex”, keluar
dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan
keluar dari diri sendiri. (Ahmad Tafsir, 2006:218)
Untuk lebih
memahami aliran ini, kita perlu mengetahui lebih dahulu pandangan beberapa
tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya :
1.
Soren
Kierkegaard
Filosof dan Theolog
berkebangsaan Denmark tersebut adalah pendiri aliran existensialisme, yaitu
suatu ajaran yang menyanggah filsafat rasional serta ajaran – ajaran teologi
yang pernah ada.
Ia dilahirkan pada tahun 1813, berdiam di Copenhagen hampir selama
hidupnya, menulis sejumlah buku dan meninggal pada tahun 1855. Di Copenhagen
sendiri, ia dipandang oleh gereja sebagai seorang yang sangat mengganggu ajaran
gereja. Pandangan – pandangannya dikenal hingga keluar Denmark, dan tampak
tulisan tulisannya di terjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Perancis, Inggris,
dan sejumlah bahasa lain.
Masalah pokok yang dipersoalkan oleh Kierkegaard, ialah peri
kehidupan manusia. Apa yang dimaksud dengan kehidupan manusia ? Pengertian
apakah yang dapat diperoleh dari kehadiran manusia ? Apa yang menjadi tujuan ?
Ia memandang, bahwa kehidupan manusia adalah tidak bermakna, penuh nestapa dan
kesedihan. Dalam ajaran – ajaran keagamaan serta tulisan – tulisannya ia
menghendaki agar manusia memahami kenyataan hidup yang demikian.
Dalam kesimpulan tulisannya, ia menggambarkan tentang cara
mengatasi kenyataan hidup itu, ialah bahwa manusia harus berusaha untuk
memperoleh pengertian tentang sejarah kehidupan pada satu pihak serta
pengetahuan abadi di lain pihak.
Kierkegaard melihat kehidupan manusia dengan menarik contoh dari
kehidupan Abraham, sebagaimana dikisahkan di dalam injil Perjanjian Lama,
abraham diperintah oleh Tuhan untuk mengorbankan anaknya bernama Ishak, harus
dibunuh sebagai persembahan. Kisah itu mengajar pada manusia, bagaimana
hendaknya manusia menentukan sikap menghadapi dunia yang penuh kepahitan hidup
ini. Kisah tentang sikap Abraham, bukanlah suatu cara hidup yang rasional,
tetapi adalah suatu penyerahan mutlak untuk mentaati perintah, bila tuhan
menghendaki demikian.
Menurut Kierkegaard, bahwa mengetahui adanya kebenaran bukanlah
dari usaha menghimpun fakta – fakta, tetapi kebenaran itu diperoleh secara
ajaib. Berbicara tentang keajaiban yang membawa cahaya kebenaran, Kiekrgaard
menghubungkannya dengan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhanlah yang memasuki
setiap peristiwa dan dengan demikinlah terciptalah pengetahuan pada kebenaran.
2.
Martin
Heidegger (1905 M)
Heidegger lahir di Baden, Jerman. Ayahnya bekerja sebagai Ksfer di
gereja ST. Martius. Ia belajar di Konstanz, kemudian ia masuk universitas
Freiburg, Jurusan Teologi. Namun, tidak lama kemudian ia beralih menekuni
bidang filsafat. Foucault meraih doktor
filsafat lewat disertasinya, Die Lehre Vom Urteil Im Psychologismus.
Pada tahun 1915, ia
mulai mengajar di bangku kuliah ia sudah mendalami fenomenologinya Edmund
Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freiburg, kehadiran itu membawa pengaruh
besar asistennya. Pada tahun 1923 ia diundang ke universitas marburg dan
diangkat menjadi profesor di freiburg sebagai pengganti Husserl.
Heidegger adalah salah
seorang mrid Hegel. Berbeda dengan gurunya, Heidegger tidak menaruh perhatian
sama sekali terhadap metode filsafat atau penyelidikan Husserl mengenai
matematika. Sebelum menjadi fenomenolog, ia dikenal sebagai mahasiswa teolog
yang pandai yang acapkali melontarkan pertanyaan – pertanyaan kritis dan
eksistensialis.
Filsafat Heidegger
dianggap sebagai prestasi monumental dan termasuk filsafat yang paling kuat dan
berpengaruh hingga abad ini. Seperti Kierkegaard, Heirkegaard menyelidiki arti
eksistensi yang autentik, makna kekekalan kita, tempat kita didunia dan di
antara orang lain sebagai individu.
Dalam buku Sein und
Zeit (ada dan waktu) Heidegger menguraikan tentang ada secara mendalam,
tetapi sebelum sampai pada langkah ini, filsuf ini mengajukan pertanyaan,
siapakah yang mengajukan permasalahan tentang ada itu ? Makhluk itu tidak lain
adalah manusia. Tetapi, ia tidak menyebutkan manusia, tetapi “subjek, aku,
pesona, kesadaran”. Sedangkan manusia dengan nama desain. Kata ini dari kata sein
= ada, dan kata da = di situ. Manusia tidak ada, begitu saja tetapi
secara erat bertautan dengan adanya sendiri.
Menurut Heidegger,
manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk
bereksisteni dengan hal – hal di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti
kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Yang dimaksud
dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan
berdaya di antara benda – benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan
kemungkinan – kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada
dunia dalam kemungkinan – kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti
manfaat pada dunia dalam kemungkinan – kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk
mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala
potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan
semua itu. Ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas
potensi yang berulang teraktulisasikan.
Sama halnya dengan
konsep ada dan non – ada, konsep ada–dalam –dunia (Inggris: being-in-the-world,
Jerman: in-der-welt-sein, Perancis: I’etre-dans-lemonde) juga
merupakan konsep yang fundamental bagi para eksistensialis dalam rangka
menerangkan gejala keberadaan manusia. Konsep ada-dalam-dunia yang
diperkenalkan Martin Heidegger ini mengandung implikasi bahwa manusia hidup
atau mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada di dalam dunia.
Untuk menangkap
pengertian yang jelas dan keluaran dari istilah ada-dalam yang digunakan oleh
Heidegger memiliki arti yang dinamis, yakni mengacu kepada hadirnya subjek yang
selalu berproses. Demikian pula dunia yang dikemukakan Heidegger itu harus
dimengerti sebagai hal yang dinamis, bisa hadir dan itu harus dimengerti
sebagai hal yang dinamis, bisa hadir dan menampakkan diri dan bukan dunia yang
tertutup atau semata – mata suatu dunia fisik geografis yang terbatas dan
membatasi manusia. Heidegger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia adalah seikonnen
yang berarti manusia mampu berada.
Jadi, ada-dalam-dunia
itu tidak menunjuk pada fakta beradabnya manusia di dalam dunia seperti berada
dalam karung atau baju dalam lemari, melainkan mewujud pada realitas dasar
bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadabannya di dunia sambil
merancang, mengolah atau membangun dunianya itu. Manusia dan dunia adalah suatu
totalitas yang menjadi relasi dialogis (penggunaan tanda lambang dalam istilah
ada dalam dunia itu pun sudah mengisyaratkan pandangan total dan dialektif dari
Heidegger mengenai manusia dunia). Totalitas dan dialektifa manusia dunia itu
mengandung implikasi bahwa keberadaan manusia dan perkembangan dunia. Dalam
kenyataannya manusia akan berkembang jika dia mengembangkan (membangun)
dunianya.
3.
Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal
pada tahun 1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superiur pada tahun 1924 M –
1928 M. Setelah tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan
filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun tempat lain. Dari tahun 1933
sampai tahun 1935, ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francis di
Berlin dan di Universtas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit novelnya yang
berjudul La Nausee, sedangkan Le Mur terbit pada tahun 1939 M. Sejak itu, munculah
karya – karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Sartre adalah filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensialisme.
Menurut Sartre, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence
precede l’essence). Manusia tidak memiliki apa – apa saat dilahirkan dan
selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen – komitmennya di
masa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu – satunya landasan nilai adalah
kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre)
Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan
ini sangat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu
sebelum keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada
manusia di dunia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud – wujud
manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya ada khusus pada
manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi, binatang, tumbuhan,
bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat mempunyai kesadaran tentang
diriya atau kesadaran sekelilingnya
Bagi Sartre, manusia atau keadaan untuk membentuk dirinya dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti
bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan – aturan,
keluhuran budi dan keberanian dan dia dapat membentuk masyarakat. Karena
memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani masalahnya sendiri dan
mengandalkan pilihan dan tindakannya supaya dapat hidup di dunia.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya
mendahului esensinya. Formula ini merupakan prinsip utama dan peratama di dalam
filsafat eksistensialisme. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 131, Ahmad
Tafsir, 2006: 217 – 219).
4.
Gabriel
Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup
sendirian, tetapi bersama – sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia
memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Dalam hal itu, ia selalu dalam situasi
yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar, ia dapat menguasai jasmaninya,
tetapi dari dalam, ia dikuasai oleh jasmaninya. Di dalam pertemuannya dengan
manusia lain, manusia mungkin bersikap dua macam. Yang lain itu merupakan objek
baginya, jadi sebagai dia, mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku ini
membentuk diri terutama dalam hubungan aku-engkau ini. Dalam hubungan
ini, kesetiaanlah yang menentukan segala – galanya. Jika aku percaya
kepada orang lain, setialah aku terhadap orang lain itu, dan kepercayaan ini
menciptakan diri aku itu. Setia itu mungkin karena orang merupakan
bagian dikau yang mutlak (Tuhan) kesetiaan yang menciptakan aku ini
pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Tuhan.
Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses)
atau being and becoming. Ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan,
seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, ada yang
tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara
tidak berada. Oleh karena itu, manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan
takut kepada kematian. Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu
saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk
mengatasi kematian. Didalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian bahwa ada
Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya
harapan menunjukkan bahwa kematian adalah semu.
Ajaran tentang ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini
menunjukkan adanya engkau Yang Tinggi (Tci Supreme), yang hanya dapat dijadikan
objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat ditemukan di
dalam penyerahan seperti halnya kita menentukan Engkau atas sesama kita di dalam
penyerahan dan dalam keterbukan dan partisipasi dalam berada yang sejati.
(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 132, lihat A.Chairil Basori, 1986 : 141)
2.2.3 Aliran Analisis
Selain aliran
diatas, ada lagi aliran yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan
analisis atas konsep – konsep. Aliran ini disebut aliran filsafat analitik dalam
berfilsat aliran ini berrprinsip bahwa jangan katakana jika hal itu tidak dapat
dikatakan. “batas – batas bahasaku adalah adalah batas – batas duniaku”.
Pencetus aliran ini adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Untuk lebih
memahami aliran ini, kita perlu mengetahui lebih dahulu pandangan beberapa
tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya :
1.
Gottlob Frege
Para filosof
analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah
filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus
sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada
intinya adalah logika.
Dalam hal ini,
ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege
berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui
logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu
juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar
analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan
bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang
implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia
menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan
yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah
deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Salah satu idenya yang paling
berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan
“acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna
hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga
menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas”
(kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk
simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk
menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk
jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan
filsafat menjadi ilmu yang ketat.
2.
Bertrand Russell
Bertrand Russel (1872-1970) lahir dari
keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu
dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar
ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar
bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia
menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain
filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada
tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di
seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang
moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang
logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell
yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang
sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari
fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat
barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut
berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein
(1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri
mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis
pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan
keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat
bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl
menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell
mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan
prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan
bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam
pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh
benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang
biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari
fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis
inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia
berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis
proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi
tersebut. Untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan
sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah
maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada
mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika
adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell
dinamakan ‘atomisme logis’.
3.
Ludwig Wittgenstein
Ia
lahir di Wina, Austria. Ilmu yang ditekuninya dalah ilmu penerbangan yang
memerlukan studi dasar yang memerlukan matematika yang mendalam. Ia belajar
kepada Schopenhauer dan Gottlieb Frege. Setelah menjadi ahli matematika ia
mendalami filsafat matematika dan logika. Karyanya ditulis dipenjara, ketika ia
menjadi tentara, dalm Perang Dunia II dan ditahan. Setelah keluar dari penjara,
ia menjadi guru di sekolah dasar kemudian menjadi tukang kebun di sekolah
biara.
Sumbangannya
yang terbesar dalam filsafat adalah pemikirannya tentang pentingnya bahasa. Ia
mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, yang lengkap formal dan dapat
memberikan kemungkinan bagi penyelesaian masalah-masalah kefilsafatan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perbedaan antara aliran pragmatisme,
aliran aksistensialisme, dan aliran yaitu:
- Aliran pragmatisme hasil dari tokoh, dan hasil pemikirannya adalah
aliran dalam filsafat yang berpandangan
bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki
kegunaan bagi kehidupan
nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa
substansi kebenaran adalah
jika segala sesuatu yang memiliki fungsi dan
manfaat bagi kehidupan. Da
- Aliran aksistensialisme adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri.
Eksistensialisme
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain
tidaklah sama.
- Aliran analitik adalah
3.2 Saran
Penulis hanya bisa memberi saran kepada pembaca bahwasahnya filsafat
kontemporer merupakan filsafat yang terjadi pada masa kekinian atau sedang
terjadi pada saat ini yang tidak terikat dengan aturan-aturan zaman dulu dan
berkembang sesuai dengan zaman sekarang. Sehingga kontemporer tidaklah sama dengan
modern, karena modern adalah masa kini yang sudah lewat.
Di dalam makalah ini mungkin ada
kesalahan dan kekurangan oleh karena itu penulispun meminta agar kiranya
pembaca juga memberi keritik dan sarannya agar kiranya makalah ini bisa menjadi
lebih sempurna lagi.
DAFTAR PURTAKA
4. Hadiwijono, H.1995. Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta:
Kanisius.
6. Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.
7. Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga
Modern. Bandung: Pusta Setia
8. Arfan, M Mu’ammar dkk. 2012. Studi Islam Prespektif
Insider/Outsider. Jogjakarta : IRCiSoD
Komentar
Posting Komentar