FILSAFAT



FILSAFAT
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat 





Disusun:
AINUL YAQIN         (U20153014)



PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS USULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
SEPTEMBER 2016



BAB  I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
“There is No Perfectness in the World”, barangkali ungkapan ini tepat dan perlu dihadirkan dan direfleksikan di sini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikir filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di lain sisi. Proses dialektika, meminjam istilahnya Hege, antara tesis antitesis dan sintesis sering kita jumpai dalam khazanah pemikiran filsafat. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya hingga akhirnya muncul pemikiran baru yang disebut pemikiran filsafat kontemporer.
Dalam kenyataan sejarah filsafat Barat mengalami pengalaman buruk tatkala hanya mengikuti rasio dan menghindari instusi. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio atau munculnya perenilisme merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah dan indra saja.
Bertolak belakang dari pemikiran di atas, maka selanjutnya pengkajian pemikiran filsafat kontemporer bisa dimulai dengan memahami aliran – aliran dan tokoh – tokohnya.










1.2   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah munculnya filsafat kontemporer ?
2.      Apa saja aliran – aliran pada masa filsafat kontemporer ?
3.      Siapakah tokoh – tokoh dan isi pemikiran pada masa filsafat kontemporer ?

1.3   Tujuan
1.      Mengetahui sejarah munculnya filsafat kontemporer
2.      Mengetahui aliran – aliran pada masa filsafat kontemporer
3.      Mengetahui tokoh – tokoh dan isi pemikiran pada masa fisafat kontemporer





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kelahiran Filsafat Kontemporer
Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa, kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi, heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, sampai filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi, teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.
Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing, tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka masing-masing.
Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941), Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.

2.2 Aliran – Aliran Filsafat Kontemporer
2.2.1 Aliran Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan.
Pragmatisme kata Edward C. Moore adalah suatu aliran filsafat yang ditemukan oleh Charles s. Pierce dari Amerika Serikat. Ajaran pierce bangkit dari tulisannya berjudul “How to Make Out Ideas Clear”. Buku ini telah ditulis pada 1878, tetapi tidak banyak menarik perhatian publik. Barulah ketika William James tampil dengan bukunya berjudul “Pragmatism” pada tahun 1907, kemudian diikuti tulisan John Dewey pada tahun 1925 dengan bukunya Experience and Nature”, maka pikiran Pierce tampak berkembang.
Pragmatisme adalah adalah ajaran mengenai pengertian, a theory of meaning. Ajaran mengenai pengertian, secara pragmatik didefinisikan sebagai berikut :
“Jika saya bertindak terhadap objek A,
Tindakan itu dilakukan oleh cara X,
Maka panca indera saya akan mengalami Y.”
Jika kita terapkan definisi di atas, dengan menyebut objek A dalam bentuk istilah atau nama, katakanlah “pohon”. Maka rumus itu akan menjadi :
“Jika saya menjamah batang pohon, maka saya akan merasakan sesuatu yang kasar “atau” keras”
Andai kata peristiwa terjadi musim panas :
“Jika saya berdiri di bawah pohon, maka saya akan merasakan keteduhan”.
Maka pragmatisme merupakan ajaran tentang pengertian, ialah pengertian suatu istilah yang terjadi oleh karena sikap dan pengalaman.
Hal yang paling mendasar dari pembahasan aliran pragmatisme ini adalah bahwa filsafat ini dimaknai sebagai alat untuk menolong manusia dalam hidup sehari – hari dan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan dunia teknik (praktis). Dengan kata lain, pelaksanaan atau praktik hiduplah yang penting, bukan pendapat atau teori. Yang pokok adalah manusia berbuat dan berpikir. Filsafat pragmatisme penting diterapkan di Indonesia, apalagi kita sedang hangat – hangatnya melaksanakan pembangunan nasional jangka panjang.
Di atas tadi telah kita sebut nama – nama pelopor – pelopor pragmatisme, ialah tiga orang tokoh yang masih perlu kita bedakan dalam bidang – bidang yang diutarakan. Morton white menyebut Pierce sebagai filsuf pragmatik di bidang ilmu pengetahuan, William James mengenai bidang keagamaan dan John Dewey adalah filsuf pragmatik dalam bidang moral.
1.      Charles Sanders Pierce
Pierce lahir pada tahun 1839 di Cambridge, massachusetts, yaitu anak seorang ahli matematika terkenal bernama benyamin Pierce. Kehidupan Pierce merupakan suatu kisah yang sangat menyedihkan. Ia menghadapi kesulitan keuangan, menemui kegagalan perkawinan, kesulitan jabatan dan berbagai rencana yang gagal, Ia tidak pernah menerima penghargaan akademis dan ia meninggal tanpa suatu sebutan keistimewaannya dalam bidang filsafat.
Filsafat Pierce dikenal dengan sebutan pragmatisme, yang berarti menunjukkan sesuatu yang praktis dan realitas, pengujian ide – ide bekerja dalam merealisasikan tujuan dengan maksud, untuk membuka pandangan pikiran dan fleksibilitas dan tidak melakukan kefanatikan serta cara dogmatik, memastikan prinsip – prinsip pasti, dan menilai kepercayaan atau ide ide dengan tingkat yang membuat mereka sukses.
Pragmatisme adalah suatu paham filosofis secara umum dimulai sejak akhir abad ke – 19 oleh Pierce dengan maksim pragmatis (pragmatic maxim). Kemudian pada abad ke – 20 baru dikembangkan lebih lanjut oleh filosof filosof pragmatis, seperti William James dan John Dewey. Seorang filosof pragmatis selalu mempertimbangkan konsekuensi – konsekuensi praktis (practical consequences) atau efek – efek nyata (Real Effesct) dari dua komponen, yaitu meaning dan truth.
Pierce membagi kebenaran menjadi dua bagian, pertama Kebenaran transendental (transcedental truth), yaitu kebenaran yang menetap pada benda itu sendiri, kedua, kebenaran kompleks (complex truth), yaitu kebenaran dalam pertanyaan – pertanyaan. Kebenaran kompleks ini dibagi menjadi dua hal yakni, kebenaran etis bahwa seluruh pernyataan dengan siapa yang diimani oleh si pembicara. Sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang di definisikan. Pandangan Pierce tentang kebenaran adalah memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan. Pertama, adanya proporsi, kedua, adanya penilaian, dan yang ketiga, adanya kebiasaan dalam berpikir.
Sedangkan gagasan Pierce tentang keyakinan dan pencarian keyakinan yang benar, ia mengemukakan dua tipologi, yakni: fixation of elief, usaha untuk meneguhkan keyakinan yang telah dimiliki agar bisa survive, dan clarification of idea yang mencakup metafisika, etika dan logika. Sehingga Pierce mengembangkan dalam bidang logika yang digagasnya dalam teori baru the new logic (cara berpikir baru) dan the logic of inquiry (logika penelitian). Bagi Pierce logic tidak statis tapi bersifat dinamis, sehingga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, apa yang tampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna dengan perkembangan ilmu pengetahuan, apa yang tampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna dengan pembacaan yang kritis dan produktif (al-qira’ah al-naqdiyyah al-mutijah), bukan malah sebaliknya, membaca apa adanya dan “takluk” terhadap cara pembacaan model warisan para pendahulunya. Pembacaan model terakhir ini, tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan dan umat, melainkan taklid dan mengulang – ulang apa yang mejadi mainstream (al-qira’ah al taqlidiyah al mutakarrirah).
Sehingga pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam pikiran (habit of mind). Berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, pierce kemudian membedakan antara keraguan dan keyakinan. Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang yang ragu minimal dari dua hal, yakni, feeling and behaviour. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman, dan akan berupaya untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.
2.      William James
William James adalah seorang psikolog, namun ia menjadi penting dalam filsafat disebabkan oleh dua faktor : pertama, ia menemukan doktrin yang disebutnya dengan “empirisme radikal” dan kedua, ia merupakan salah satu dari tiga orang tokoh utama suatu teori yang disebut dengan “pragmatisme” atau “instrumentalisme”. James mengembangkan filsafat manusia berbasis psikologi filsafati, ia menyebut psikologi sebagai natural science yang mempelajari kehidupan mental dengan menghubungkan jiwa dengan perasaan badan.
Dengan demikian, William James mengajarkan bahwa ukuran kebenaran sesuatu ditentukan oleh akibatnya yang praktis. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, namun ia hanya bisa menjadi benar. Ukuran kebenaran menurut James adalah seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas. Kebenaran mutlak yang lepas dari akal tidak ada, karena semua berjalan terus dan berubah – ubah, yang ada hanya kebenaran khusus dalam pengalaman yang khusus pula.
Lebih lanjut William James menegaskan, bahwa pragmatisme memiliki karakteristik, sebagai berikut.
a.       Berapa Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mementingkan hasil. Pragmatisme adalah gagasan yang mementingkan tindakan dan hasil dari tindakan yang dapat diraih.
b.      Pragmatisme adalah aliran filsafat yang demokratis, yaitu paham yang menganggap bahwa semua orang adalah filosof. Pandangan ini bertentangan dengan pendapat sebelumnya yang menggangungkan pendapat – pendapat filosof  besar yang selalu dijadikan parameter kebenaran.
c.       Pragmatisme adalah filsafat yang bersifat individual, maksudnya kebenaran bersifat pribadi. Kebenaran tidak bersifat mutlak karena proses pencarian kebenaran yang dilakukan masing – masing orang berada sehingga hasilnya pun tertentu berbeda pula.
d.      Pragmatisme adalah aliran filsafat yang humanistik dan optimis, dalam arti aliran pragmatisme menempatkan manusia sebagai pihak yang menentukan kebenaran. Setiap individu memiliki pengaruh dalam peristiwa – peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, nasib masing – masing individu terletak di tangannya sendiri.
e.       Pragmatisme adalah aliran filsafat yang spekulatif. Kebenaran itu bersifat relatif. Tergantung pada pengalaman atau proses pembuktian yang dilakukan oleh seseorang terhadap kebenaran tersebut. Sesungguhnya tidak ada kebenaran yang bersifat umum dan mutlak. Kebenaran itu selalu berubah karena suatu kebenaran akan dikoreksi oleh kebenaran yang muncul kemudian.
3.      John Dewey
John Dewey adalah tokoh yang paling terkenal dari aliran pragmatisme Amerika modern. Ia menyebut filsafatnya dengan nama “instrumentalisme”. Instrumentalisme adalah usaha untuk menyusun teori yang logis dan tepat dari konsep – konsep, pertimbangan – pertimbangan, penyimpulan – penyimpulan dalam bentuk bermacam – macam. Ia menegaskan bahwa mengetahui merupakan alat atau instrument untuk menangani situasi tertentu. Seperti halnya William James , maka Dewey menyatakan bahwa pikiran adalah instrument untuk mewujudkan tujuan.
Filsafat menurut Dewey adalah upaya untuk menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan – penentuan yang berdasarkan pengalaman, terutama mengenai konsekuensi – konsekuensinya di masa depan. Kenyataan selalu berubah, tumbuh dan berkembang di dalam benda – benda. Sementara manusia terus – menerus mengubah gagasan – gagasannya sampai gagasan – gagasan itu bekerja atau berlaku. Maka bagi Dewey, yang penting bukan benar atau tidaknya pengetahuan, melainkan sejauh mana pengetahuan dapat memecahkan masalah – masalah yang muncul di dalam masyarakat dan dalam kenyataan hidup.
Dewey mengkritik pandangan tradisional tentang “kebenaran ” yang bersifat statis dan final, sempurna dan abadi. Menurutnya pengetahuan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik, yang secara bertahap tumbuh dalam setian bagian apa pun sampai sampai keseluruhan tersebut sempurna. Oleh karena itu bagi Dewey, semua realitas adalah sementara dan selalu dalam proses menjadi dan bersifat evolutif.
Kebenaran bagi Dewey didefinisikan sebagai penyelidikan. Penyelidikan adalah transformasi terkontrol dan terarah dari situasi yang tidak menentu menjadi situasi yang menentu. Penyelidikan berkaitan dengan transformasi pokok persoalan secara objektif. Oleh karena itu, kebenaran adalah opini yang disepakati oleh semua orang yang menyelidikinya. Pragmatisme sebagai aliran filsafat, meskipun saat ini tidak lagi begitu popular, namun dalam kenyataan sehari – hari prinsip – prinsip kemanfaatan atau kegunaannya sangat mempengaruhi pola pikir manusia kontemporer. Pada era teknologi maju saat ini, hampir seluruh sendi kehidupan manusia di pengaruhi oleh pola berpikir pragmatisme.
2.2.2 Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu pandangan hidup yang berkembang di Perancis dan Jerman lalu mengembang ke wilayah berbahasa Inggris. Setelah perang dunia kedua, ajaran itu tampak berkembang dengan pesat.
Eksistensialisme berasal dari kata “eksistensi” dari kata dasar “existency” yaitu “exist”. Kata “exist” adalah bahasa Latin yang artinya: “ex”, keluar dan “sistare” artinya berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. (Ahmad Tafsir, 2006:218)
Untuk lebih memahami aliran ini, kita perlu mengetahui lebih dahulu pandangan beberapa tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya :



1.      Soren Kierkegaard
Filosof  dan Theolog berkebangsaan Denmark tersebut adalah pendiri aliran existensialisme, yaitu suatu ajaran yang menyanggah filsafat rasional serta ajaran – ajaran teologi yang pernah ada.
Ia dilahirkan pada tahun 1813, berdiam di Copenhagen hampir selama hidupnya, menulis sejumlah buku dan meninggal pada tahun 1855. Di Copenhagen sendiri, ia dipandang oleh gereja sebagai seorang yang sangat mengganggu ajaran gereja. Pandangan – pandangannya dikenal hingga keluar Denmark, dan tampak tulisan tulisannya di terjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan sejumlah bahasa lain.
Masalah pokok yang dipersoalkan oleh Kierkegaard, ialah peri kehidupan manusia. Apa yang dimaksud dengan kehidupan manusia ? Pengertian apakah yang dapat diperoleh dari kehadiran manusia ? Apa yang menjadi tujuan ? Ia memandang, bahwa kehidupan manusia adalah tidak bermakna, penuh nestapa dan kesedihan. Dalam ajaran – ajaran keagamaan serta tulisan – tulisannya ia menghendaki agar manusia memahami kenyataan hidup yang demikian.
Dalam kesimpulan tulisannya, ia menggambarkan tentang cara mengatasi kenyataan hidup itu, ialah bahwa manusia harus berusaha untuk memperoleh pengertian tentang sejarah kehidupan pada satu pihak serta pengetahuan abadi di lain pihak.
Kierkegaard melihat kehidupan manusia dengan menarik contoh dari kehidupan Abraham, sebagaimana dikisahkan di dalam injil Perjanjian Lama, abraham diperintah oleh Tuhan untuk mengorbankan anaknya bernama Ishak, harus dibunuh sebagai persembahan. Kisah itu mengajar pada manusia, bagaimana hendaknya manusia menentukan sikap menghadapi dunia yang penuh kepahitan hidup ini. Kisah tentang sikap Abraham, bukanlah suatu cara hidup yang rasional, tetapi adalah suatu penyerahan mutlak untuk mentaati perintah, bila tuhan menghendaki demikian.
Menurut Kierkegaard, bahwa mengetahui adanya kebenaran bukanlah dari usaha menghimpun fakta – fakta, tetapi kebenaran itu diperoleh secara ajaib. Berbicara tentang keajaiban yang membawa cahaya kebenaran, Kiekrgaard menghubungkannya dengan kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhanlah yang memasuki setiap peristiwa dan dengan demikinlah terciptalah pengetahuan pada kebenaran.

2.      Martin Heidegger (1905 M)
Heidegger lahir di Baden, Jerman. Ayahnya bekerja sebagai Ksfer di gereja ST. Martius. Ia belajar di Konstanz, kemudian ia masuk universitas Freiburg, Jurusan Teologi. Namun, tidak lama kemudian ia beralih menekuni bidang filsafat. Foucault  meraih doktor filsafat lewat disertasinya, Die Lehre Vom Urteil Im Psychologismus.
        Pada tahun 1915, ia mulai mengajar di bangku kuliah ia sudah mendalami fenomenologinya Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freiburg, kehadiran itu membawa pengaruh besar asistennya. Pada tahun 1923 ia diundang ke universitas marburg dan diangkat menjadi profesor di freiburg sebagai pengganti Husserl.
        Heidegger adalah salah seorang mrid Hegel. Berbeda dengan gurunya, Heidegger tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap metode filsafat atau penyelidikan Husserl mengenai matematika. Sebelum menjadi fenomenolog, ia dikenal sebagai mahasiswa teolog yang pandai yang acapkali melontarkan pertanyaan – pertanyaan kritis dan eksistensialis.
        Filsafat Heidegger dianggap sebagai prestasi monumental dan termasuk filsafat yang paling kuat dan berpengaruh hingga abad ini. Seperti Kierkegaard, Heirkegaard menyelidiki arti eksistensi yang autentik, makna kekekalan kita, tempat kita didunia dan di antara orang lain sebagai individu.
        Dalam buku Sein und Zeit (ada dan waktu) Heidegger menguraikan tentang ada secara mendalam, tetapi sebelum sampai pada langkah ini, filsuf ini mengajukan pertanyaan, siapakah yang mengajukan permasalahan tentang ada itu ? Makhluk itu tidak lain adalah manusia. Tetapi, ia tidak menyebutkan manusia, tetapi “subjek, aku, pesona, kesadaran”. Sedangkan manusia dengan nama desain. Kata ini dari kata sein = ada, dan kata da = di situ. Manusia tidak ada, begitu saja tetapi secara erat bertautan dengan adanya sendiri.
        Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksisteni dengan hal – hal di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Yang dimaksud dengan mengerti dan memahami ialah bahwa manusia dengan kesadarannya akan berdaya di antara benda – benda lainnya harus berbuat sesuatu untuk menggunakan kemungkinan – kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan – kemungkinan yang ada pada dirinya dan memberi arti manfaat pada dunia dalam kemungkinan – kemungkinannya. Bagi Heidegger, untuk mencapai manusia yang utuh maka manusia itu harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikan semua itu. Ia tetap berusaha sekuat tenaga dan mempertanggungjawabkan atas potensi yang berulang teraktulisasikan.
        Sama halnya dengan konsep ada dan non – ada, konsep ada–dalam –dunia (Inggris: being-in-the-world, Jerman: in-der-welt-sein, Perancis: I’etre-dans-lemonde) juga merupakan konsep yang fundamental bagi para eksistensialis dalam rangka menerangkan gejala keberadaan manusia. Konsep ada-dalam-dunia yang diperkenalkan Martin Heidegger ini mengandung implikasi bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya dengan meng-ada di dalam dunia.
        Untuk menangkap pengertian yang jelas dan keluaran dari istilah ada-dalam yang digunakan oleh Heidegger memiliki arti yang dinamis, yakni mengacu kepada hadirnya subjek yang selalu berproses. Demikian pula dunia yang dikemukakan Heidegger itu harus dimengerti sebagai hal yang dinamis, bisa hadir dan itu harus dimengerti sebagai hal yang dinamis, bisa hadir dan menampakkan diri dan bukan dunia yang tertutup atau semata – mata suatu dunia fisik geografis yang terbatas dan membatasi manusia. Heidegger sendiri menekankan bahwa ada dalam dunia adalah seikonnen yang berarti manusia mampu berada.
        Jadi, ada-dalam-dunia itu tidak menunjuk pada fakta beradabnya manusia di dalam dunia seperti berada dalam karung atau baju dalam lemari, melainkan mewujud pada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadabannya di dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu. Manusia dan dunia adalah suatu totalitas yang menjadi relasi dialogis (penggunaan tanda lambang dalam istilah ada dalam dunia itu pun sudah mengisyaratkan pandangan total dan dialektif dari Heidegger mengenai manusia dunia). Totalitas dan dialektifa manusia dunia itu mengandung implikasi bahwa keberadaan manusia dan perkembangan dunia. Dalam kenyataannya manusia akan berkembang jika dia mengembangkan (membangun) dunianya.
3.       Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun 1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superiur pada tahun 1924 M – 1928 M. Setelah tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935, ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francis di Berlin dan di Universtas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit novelnya yang berjudul La Nausee, sedangkan Le Mur terbit pada tahun 1939 M. Sejak itu, munculah karya – karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Sartre adalah filsuf sekaligus pengembang aliran eksistensialisme. Menurut Sartre, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence precede l’essence). Manusia tidak memiliki apa – apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen – komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu – satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamne a etre libre)
Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini sangat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada manusia di dunia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud – wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya ada khusus pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi, binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat mempunyai kesadaran tentang diriya atau kesadaran sekelilingnya
Bagi Sartre, manusia atau keadaan untuk membentuk dirinya dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan – aturan, keluhuran budi dan keberanian dan dia dapat membentuk masyarakat. Karena memiliki ciri seperti ini, maka manusia dapat menangani masalahnya sendiri dan mengandalkan pilihan dan tindakannya supaya dapat hidup di dunia.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Formula ini merupakan prinsip utama dan peratama di dalam filsafat eksistensialisme. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 131, Ahmad Tafsir, 2006: 217 – 219).
4.      Gabriel Marcel
Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama – sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Dalam hal itu, ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar, ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam, ia dikuasai oleh jasmaninya. Di dalam pertemuannya dengan manusia lain, manusia mungkin bersikap dua macam. Yang lain itu merupakan objek baginya, jadi sebagai dia, mungkin juga merupakan yang ada bagi aku. Aku ini membentuk diri terutama dalam hubungan aku-engkau ini. Dalam hubungan ini, kesetiaanlah yang menentukan segala – galanya. Jika aku percaya kepada orang lain, setialah aku terhadap orang lain itu, dan kepercayaan ini menciptakan diri aku itu. Setia itu mungkin karena orang merupakan bagian dikau yang mutlak (Tuhan) kesetiaan yang menciptakan aku ini pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia kepada Tuhan.
Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses) atau being and becoming. Ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, ada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak berada. Oleh karena itu, manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk mengatasi kematian. Didalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian bahwa ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kematian adalah semu.
Ajaran tentang ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjukkan adanya engkau Yang Tinggi (Tci Supreme), yang hanya dapat dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat ditemukan di dalam penyerahan seperti halnya kita menentukan Engkau atas sesama kita di dalam penyerahan dan dalam keterbukan dan partisipasi dalam berada yang sejati. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 132, lihat A.Chairil Basori, 1986 : 141)
2.2.3 Aliran Analisis
Selain aliran diatas, ada lagi aliran yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep – konsep. Aliran ini disebut aliran filsafat analitik dalam berfilsat aliran ini berrprinsip bahwa jangan katakana jika hal itu tidak dapat dikatakan. “batas – batas bahasaku adalah adalah batas – batas duniaku”. Pencetus aliran ini adalah Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Untuk lebih memahami aliran ini, kita perlu mengetahui lebih dahulu pandangan beberapa tokoh filsafat eksistensialisme, diantaranya :
1.      Gottlob Frege
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.  Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.


2.      Bertrand Russell
Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.
Pemikiran filosofis Bertrand Russell  yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut. Untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.
3.      Ludwig Wittgenstein
Ia lahir di Wina, Austria. Ilmu yang ditekuninya dalah ilmu penerbangan yang memerlukan studi dasar yang memerlukan matematika yang mendalam. Ia belajar kepada Schopenhauer dan Gottlieb Frege. Setelah menjadi ahli matematika ia mendalami filsafat matematika dan logika. Karyanya ditulis dipenjara, ketika ia menjadi tentara, dalm Perang Dunia II dan ditahan. Setelah keluar dari penjara, ia menjadi guru di sekolah dasar kemudian menjadi tukang kebun di sekolah biara.
Sumbangannya yang terbesar dalam filsafat adalah pemikirannya tentang pentingnya bahasa. Ia mencita-citakan suatu bahasa yang ideal, yang lengkap formal dan dapat memberikan kemungkinan bagi penyelesaian masalah-masalah kefilsafatan.






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perbedaan antara aliran pragmatisme, aliran aksistensialisme, dan aliran  yaitu:
- Aliran pragmatisme hasil dari tokoh, dan hasil pemikirannya adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan    
   bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki      
   kegunaan bagi kehidupan nyata. Pragmatisme berpandangan bahwa 
   substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu yang memiliki fungsi dan
   manfaat bagi kehidupan. Da
- Aliran aksistensialisme adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. 
   Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain       
   tidaklah sama.
            - Aliran analitik adalah

3.2 Saran
            Penulis hanya bisa memberi saran kepada pembaca bahwasahnya filsafat kontemporer merupakan filsafat yang terjadi pada masa kekinian atau sedang terjadi pada saat ini yang tidak terikat dengan aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai dengan zaman sekarang. Sehingga kontemporer tidaklah sama dengan modern, karena modern adalah masa kini yang sudah lewat.
     Di dalam makalah ini mungkin ada kesalahan dan kekurangan oleh karena itu penulispun meminta agar kiranya pembaca juga memberi keritik dan sarannya agar kiranya makalah ini bisa menjadi lebih sempurna lagi.






DAFTAR PURTAKA

4.      Hadiwijono, H.1995. Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.
5.      Surya.2010.MengenalPostmodern. http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-postmodern/).
6.      Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.
7.      Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pusta Setia
8.      Arfan, M Mu’ammar dkk. 2012. Studi Islam Prespektif Insider/Outsider. Jogjakarta : IRCiSoD

Komentar

Postingan populer dari blog ini

isim adad

BATAS AWAL DAN AKHIR PENDIDIKAN

KARAKTERISTIK TES YANG BAIK